SEORANG senior di organisasi tempat kami “bergerak†bersama dahulu, menyatakan bahwa Ahok tidaklah sama dengan Jokowi. Sungguh menarik.
Mengingat saat ini, dalam konteksi Pilkada DKI Jakarta, cukup banyak yang beranggapan bahwa Ahok identik dengan Jokowi. Anggapan ini mungkin saja disebabkan terdapat kekuatan politik, di kalangan parpol maupun relawan, yang dahulu mendukung Jokowi, kini juga mendukung Ahok.
Tapi bukankah sebagian parpol dan relawan yang dahulu mendukung Jokowi di Pilpres 2014, kini tidak mendukung Ahok di Pilkada DKI 2017?
Kebetulan senior tersebut adalah bagian dari relawan jenis yang belakangan. Dirinya mendukung Jokowi sejak 2014 hingga kini, tapi tidak mendukung Ahok di Pilkada DKI 2017.
Untuk memperkuat posisi politiknya, ia mengemukakan delapan hal yang membedakan Ahok dari Jokowi. Sungguh takjub kami mendapati betapa komprehensif dan dalamnya analisa yang dapat menghasilkan kedelapan poin perbedaan mendasar Ahok dari Jokowi tersebut.
Kini kami akan coba untuk memberikan komentar atas kedelapannya. Semoga dengan status kami yang bukan pendukung pasangan manapun di Pilkada DKI Jakarta, komentar kami dapat mendekati objektivitas.
1) Jokowi lahir dari keluarga susah sedangkan Ahok tidak.
Hal ini merupakan fakta. Sudah cukup banyak yang mengulas tentang sejarah kehidupan Jokowi. Jokowi mengalami masa-masa kecil yang sulit karena kemiskinan, lalu tumbuh dewasa secara sederhana.
Kuliah di kampus negeri yang biaya masuk dan semesteran-nya terbilang murah, sempat menjadi pekerja di sebuah perusahaan, sebelum akhirnya berbisnis meubel.
Setelah menjadi Gubernur di DKI Jakarta, Jokowi tetap sederhana dengan tinggal di rumah dinas yang disediakan.
Sedangkan Ahok dapat dikatakan tidak pernah melalui hidup dalam kesulitan yang berarti. Orang tua Ahok dapat dibilang selain berada juga merupakan orang berpengaruh.
Hal ini disampaikan Ahok sendiri saat persidangan pertamanya atas kasus penistaan Agama, bahwa ayahnya mengangkat saudara dengan dengan adik dari Jenderal M. Jusuf, seorang petinggi militer yang sangat berpengaruh pasca Proklamasi hingga Orde Baru.
Ahok kuliah sarjana dan magister di kampus-kampus swasta ibukota yang tergolong elit. Setelah lulus Ahok langsung menjadi direktur suatu perusahaan, sebelum akhirnya memiliki usaha sendiri di pertambangan.
Saat menjadi Gubernur di DKI Jakarta (menggantikan Jokowi), Ahok tidak tinggal di rumah dinas yang disediakan, dirinya lebih memilih tinggal di pemukiman elit Pantai Mutiara di Utara Jakarta.
2) Jokowi pernah menjadi korban gusuran sedangkan Ahok tidak pernah.
Salah satu masa tersulit dari perjalanan hidup Jokowi adalah menjadi korban gusuran di Solo. Kisah sedih ini kerap diutarakan oleh Jokowi sendiri dalam berbagai kesempatan.
Dikatakan dirinya sangat perih kala mengalami nasib naas tersebut, dihinakan oleh negara. Pengalaman inilah yang kemudian, saat menjabat sebagai walikota di Solo, menyebabkan dirinya selalu menghindari pendekatan yang represif saat terpaksa harus melakukan relokasi warga.
Kemudian semisal saat semasa dirinya menjadi Gubernur Jakarta, Jokowi menjanjikan dan telah mengkonkretkan di beberapa titik membangun kampung susun sehingga warga tidak perlu direlokasi dan pemukimannya menjadi tertata lebih baik.
Ahok, karena berasal dari keluarga yang kaya dan berpengaruh, jelas tidak mungkin pernah merasakan derita yang pernah dirasakan oleh Jokowi. Karena tidak pernah mengalami nasib sebagai korban gusuran inilah yang mungkin menyebabkan Ahok cenderung bersikap brutal saat (dan akan) menggusur ratusan perkampungan warga miskin di Jakarta.
Dengan berbagai alasannya, Ahok menghentikan sama sekali program pembangunan kampung susun peninggalan Jokowi. Program relokasi warga korban gusuran ke rusun-rusun Ahok pun kini dikritik habis oleh para aktivis kemanusiaan, karena dianggap malah semakin memiskinkan warga (baca hasil penelitian LBH Jakarta awal Desember 2016).
3) Jokowi bagus berkomunikasi dengan relawannya sedangkan Ahok tidak.
Memang untuk yang ini kami tidak mengetahuinya secara langsung, hanya bersumber dari keterangan para relawan terkait. Dikatakan bahwa semasa menjadi Gubernur Jakarta dan kemudian menjadi Presiden, Jokowi tetap menjaga baik komunikasinya dengan seluruh relawan.
Sedangkan Ahok, saat setelah menjabat sebagai Gubernur Jakarta, kabarnya malah memutus sama sekali komunikasi dengan sebagian besar para relawan Jokowi yang sebenarnya juga membantu naiknya Ahok sebagai wagub di Pilkada DKI tahun 2012.
4) Jokowi pemimpin yang santun, tidak banyak bicara tapi tegas, sedangkan Ahok kebalikannya.
Publik menjadi saksi, bahwa Jokowi adalah pemimpin yang sangat santun, tidak banyak bicara, namun tegas memegang prinsip untuk menjaga integritasnya. Dirinya sangat berhati-hati dalam bersikap dan berbicara di depan publik, hormat kepada siapa saja, apakah itu masyarakat biasa ataupun sekutu dan lawan politik.
Tentang ketegasan dalam menjaga integritas, Jokowi juga sangat menjaga agar para kerabat terdekatnya tidak cawe-cawe dalam urusan bernegara atau bahkan mengambil untung dari jabatan Jokowi.
Sedangkan Ahok kebalikannya. Publik menjadi saksi, bagaimana sikap Ahok sangatlah tidak layak ditampilkan dan diperdengarkan sebagai seorang pejabat.
Kepada para anggota DPRD yang belum tentu bersalah secara hukum, dirinya sudah menghakimi bahwa mereka semua korup. Kepada masyarakat yang mengadu, malah dituduh maling. Kepada masyarakat kecil yang melawan kebijakannya, malah dituduhnya sebagai komunis dan bahkan diancamnya hendak disemprot bensin dan bahkan dibantai di depan sorotan media.
Sementara bila berbicara tentang integritas, meskipun selalu dicitrakan sebagai tokoh anti korupsi, Ahok sebenarnya sudah jelas bersalah karena melanggar perundangan dalam hal penggunaan dana offbudget dari swasta untuk membangun proyek-proyek di DKI.
Keluarga Ahok, seperti istri dan adiknya sendiri tertangkap publik ikut cawe-cawe dalam program Pemda DKI Jakarta, seperti perbaikan kota tua dan pembelian lahan Sumber Waras. Bahkan belum lama ini ada yang bilang, bila Ahok benar konsisten hendak menerapkan pembuktian terbalik terhadap harta kekayaan pejabat, seharusnya dimulai dari dirinya sendiri. Semisal: Ahok harus membuktikan darimana datangnya dana untuk membeli rumah mewahnya di Pantai Mutiara.
5) Jokowi berasal dari etnis dan agama mayoritas sedangkan Ahok bukan
Benar, Jokowi berasal dari etnis Jawa dan beragama Islam. Bukan tidak mungkin hal ini juga lah yang membuat para pemilih memenangkannya di Pilkada DKI tahun 2012 dan Pilpres tahun 2014. Kenyataannya memang etnis Jawa dan Agama Islam merupakan mayoritas baik di Jakarta maupun di Indonesia.
Sementara di kalangan para pendukung Ahok tampak adanya usaha-usaha menggunakan semboyan bhinneka tunggal ika agar para pemilih menjatuhkan hatinya kepada Ahok yang berasal dari etnis dan agama minoritas. Jadi semboyan yang awalnya lahir untuk menjaga kerukunan antar etnis dan agama di Nusantara berabad lalu, kini di era Indonesia modern seolah digunakan demi kepentingan politik sesaat.
Masalahnya kerukunan yang hendak dijaga oleh bhinneka tunggal ika tersebut kini hampir rusak juga oleh karena diri Ahok sendiri yang tak mampu menjaga ucapan-ucapannya.
Tidak seperti Ahok, sebagai pejabat publik Jokowi tidak pernah bicara terlalu jauh mencampuri Agama lain.
Bahkan pada saat aksi, yang katanya merupakan aksi terbesar sepanjang Republik berdiri, tanggal 2 Desember 2016 yang menuntut Ahok dipenjara, Jokowi “nekat†menyempatkan hadir di tengah lautan massa untuk dengan renda hati sholat Jumat bersama sejuta umat demi mendinginkan suasana politik yang berkembang saat itu.
Namun bila kini gerakan Islam radikal ternyata menjadi membesar dan menguat itu bukanlah salah siapapun, melainkan salah diri Ahok.
6) Jokowi adalah kader parpol yang setia sedangkan Ahok bukan.
Sejak awal berkarir di politik hingga menjadi Presiden, Jokowi adalah kader PDI Perjuangan yang loyal. Sedangkan Ahok dikenal di dunia politik sebagai “kutu loncatâ€. Sempat berada di Partai PIB, kemudian masuk Golkar, kemudian Gerindra. Kabarnya hubungan Ahok dengan PIB dan Gerindra juga tidak harmonis karena proses keluar yang tidak etis.
Bahkan Ahok belakangan sempat koar-koar anti parpol (bersama Teman Ahok saat mencoba jalur independen), sebelum akhirnya menjilat kembali ludahnya dan bersedia didukung oleh parpol di Pilkada DKI Jakarta.
7) Jokowi tidak pernah ditolak warga, sedangkan Ahok sering.
Belum pernah dalam sejarahnya Jokowi ditolak oleh warga saat sedang berkampanye. Sedangkan Ahok, jelas bukan sekali dua kali terpaksa mengalami nasib buruk ini. Bahkan meskipun sudah jelas-jelas disampaikan oleh aparat bahwa bila dilakukan saat musim kampanye tindakan ini melanggar hukum, namun masih saja ada warga yang berani melakukan penolakan terhadap Ahok.
8) Jokowi tidak anti rakyat, sedangkan Ahok kebalikannya.
Mungkin karena berasal dari kalangan mayoritas rakyat biasa dan pernah ditindas sewaktu masih menjadi rakyat, hingga menjadi Presiden kini Jokowi tidak memiliki karakter anti rakyat. Jokowi selalu ingin dekat dengan rakyat, ingin membahagiakan rakyat. Contoh yang paling sederhana adalah tentang kebiasaan Jokowi memberikan hiburan gratis bagi rakyat DKI Jakarta ketika Tahun Baru tiba.
Ketika Jokowi masih menjadi Gubernur, sepanjang jalan Thamrin dan Sudirman ditutup untuk diberlakukan car free night sejak pukul 21.00 sampai 02.00 esoknya. Kawasan tersebut nantinya juga akan dilangsungkan karnaval dari berbagai kesenian, seperti keroncong, campur sari, maupun dangdut.
Beberapa panggung pun didirikan untuk menghibur warga. Terhitung Pemda DKI menggelontorkan dana Rp 46 miliar untuk membiayai lebih dari 260 festival seni budaya.
Namun, ketika Ahok menjadi Gubernur, dirinya memotong seluruh anggaran tersebut. Warga hanya dibebaskan berjalan-jalan di car free night tanpa panggung apapun. Segala kemeriahan Tahun Baru yang menghibur rakyat secara gratis di era Jokowi sirna di era Ahok.
Ahok malah menyerahkan penyelenggaraan perayaan Tahun Baru kepada swasta (seperti Ancol), sementara dirinya hadir mendukung di perayaan tersebut. Dan tentu saja pihak swasta tersebut memungut biaya kepada rakyat yang ingin menikmati meriahnya perayaan Tahun Baru. Sedihnya.
Selamat Tahun Baru 2017.
Oleh Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra