KedaiPena.Com – Intelijen Polri dan BIN perlu mengusut, kenapa kemarahan warga gampang tersulut. Hanya persoalan sepele, warga mengamuk, melempari, dan membakar kantor polisi, seperti di Rantaupanjang, Jambi.Â
“Apakah ini sebuah gambaran makin memuncaknya kebencian warga terhadap polisi atau ada pihak-pihak tertentu yang memprovokasi untuk merusak citra Polri,” kata ‎Neta S Pane, ‎Ketua Presidium Ind Police Watch‎ dalam keterangan yang diterima redaksi, Senin (29/8).
‎
IPW mencatat, selama 8 bulan terakhir di 2016 ada 14 kantor polisi dan fasilitas Polri yang dirusak serta dibakar warga. Selain itu ada 11 polisi yang tewas dan 45 lainnya luka akibat amuk massa. Amuk terakhir terjadi di Rantaupanjang, Merangin, Jambi. Polsek Tabir diserbu dan dibakar massa akibat polisi menangkap penambang liar kelas kecil dan membiarkan penambang liar kelas kakap tetap beroperasi.
IPW mencatat, sejak Tito Karnavian menjadi Kapolri 14 Juli 2016 terjadi tujuh kerusuhan atau bentrokan massa, yakni di Sumbar, Tanjungbalai, Karo, Aceh, Makassar, Meranti, dan Jambi. Pemicunya hanya soal sepele. Seperti peristiwa terakhir di Jambi, polisi menangkap penambang liar dan tiba-tiba muncul rombongan massa yang menyerbu polsek. Mereka melempari dan langsung membakar polsek. Begitu juga di Meranti, rombongan massa langsung melempari dan merusak polres.
“Intelijen Polri dan BIN perlu melakukan pengusutan serius, apakah aksi warga itu sebuah spontanitas atau ada pihak tertentu yang memprovokasi untuk menghancurkan citra Polri,” sambungnya.
Jadi pertanyaan memang, kenapa warga di daerah kecil, seperti Rantaupanjang, berani menyerang, merusak, dan membakar kantor polisi, hanya karena persoalan sepele. Jika hal ini aksi spontan, Polri perlu melakukan instrospeksi atas sikap, prilaku, dan kinerja jajaran bawahnya yang bisa memicu kemarahan warga.Â
“Sebaliknya, jika ada pihak yang memprovokasi untuk merusak citra Polri, jajaran kepolisian harus mewaspadainya dan segera mengusut tuntas,” tandasnya.
(Prw)‎