Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
MOCHTAR Lubis di tahun 1970-an mengkritik ketidakadilan penegakkan hukum yang menurutnya diwarnai oleh “Falsafah Kebeneran”.
Maksudnya, kalau anda benar tetapi karena anda tidak sedang “kebeneran”, maka anda salah.
Sebaliknya, kalau anda bersalah, tetapi karena anda sedang “kebeneran”, maka anda benar.
Jenderal Hoegeng Imam Santoso waktu jadi perwira muda bikin heboh Kota Medan.
Warga di sana suatu hari menemukan barang-barang perabotan rumah tangga teronggok tak bertuan di pinggir jalan.
Barang-barang yang cukup mewah itu ternyata dikeluarkan secara paksa dari dalam rumah oleh Hoegeng yang baru mendapat tugas di kota itu.
Ia jengkel, karena sejak pertama tiba di posnya yang baru itu terus dikuntit oleh para bandar penyelundup yang berusaha menyogoknya.
Kedatangannya disambut secara “unik”. Rumah dan mobil telah disediakan oleh para bandar judi. Sedangkan para bandar lainnya menyediakan berbagai fasilitas yang tak kalah mewahnya.
Akhirnya Hoegeng memilih menginap di hotel sebelum mendapat rumah dinas, dan menolak semua jenis sogokan itu secara tegas.
Apa makna dari kisah di atas?
Integritas adalah hal yang utama. Integrity breeds trust. Dan seperti kata pepatah: “kejujuran ialah mata uang dimana-mana”.
Maka gunakanlah kejujuran itu di dalam setiap transaksi kehidupan, agar anda mendapatkan kepercayaan.
Bagaimana saat ini?
Tepat menjelang peringatan 77 tahun kemerdekaan negeri ini sekarang sedang dalam proses pembusukan. Akibat dekadensi moral dan rusaknya etika penyelenggara negara.
Banyak kekuasaan jatuh karena dekadensi moral dan rusaknya etika.
Era Majapahit yang oleh laudator temporis acti (para pemuja masa lalu atau penikmat zaman) disebut sebagai zaman keemasan, kejatuhannya juga diwarnai oleh dekadensi moral dan krisis etika.
Yang dicirikan oleh sikap rai gedhek (muka tembok alias tak tau malu) para penguasanya. Sehingga korupsi merajalela.
Perang Paregreg, 1404-1406, ialah perang saudara pada masa itu, akibat perebutan tahta, dan bodohnya kepemimpinan sang raja setelah berakhirnya Hayam Wuruk.
Dekadensi moral kala itu disusul pula oleh pamer gaya hidup mewah (hedonisme) para pejabat. Praktek saling fitnah, kebohongan, dan pembunuhan-pembunuhan keji akibat intrik politik dan uang, yang memperlihatkan tidak adanya keadilan. Hingga melemahnya pertahanan yang menyebabkan serbuan Tiongkok-Mongol terhadap Majapahit, pada 1293.
Amangkurat II dan Amangkurat III mewarisi banyak narasi tentang keburukan. Mulai dari skandal asmara, incest, homoseksual, saling bunuh sesama saudara, perbuatan keji berupa metode penyiksaan, dan sebagainya.
Itu pula sebabnya dengan belajar dari sejarah dan pendidikan yang baik para tokoh pergerakan kemerdekaan dulu mengedepankan fatsun dan etika. Menyepakati adab, kemanusiaan, dan keadilan, sebagai salah satu sila dari Pancasila.
Inilah era tragic-comic. Kita jengkel, marah, dan kecewa: dana Bansos Covid buat orang miskin dicolong, Apeng merampok Rp78 triliun, Ketua MK tersangkut Semenda, nepotisme semakin brutal, kebohongan dipertontonkan tanpa malu, korupsi kian meningkat, utang menumpuk tanpa tau bagaimana membayarnya, umat dihina, buzzersRp memecah persatuan dan menebar fitnah, dan seterusnya.
Hari ini kita menyaksikan berbagai kebejatan di panggung kekuasaan dengan sikap yang seolah permisif, maka bertanyalah kita, para wong cilik atau rakyat biasa, yang bukan penyelenggara negara:
Masih relevankah pekik kata merdeka di bulan proklamasi ini?
[***]