JOKOWI: Sekarang Impor Lebih Besar dari Ekspor, Kita Defisit Terus. Judul berita di satu media online itu menjadi bahan meme yang beredar di grup-grup WhatsApps dan sosial media lain. Yang menarik, meme itu diberi tulisan ‘Capres Jokowi Sedang Mengeritik Presiden’.
Tentu saja, meme ini adalah sindiran (halus). Pasalnya, defisit impor yang kini menganga lebar, adalah buah dari kebijakan perdagangan di era dia berkuasa. Tidak tanggung-tanggung, niainya mencapai US$8,75 miliar.
Dengan kurs tengah Bank Indonesia (BI) yang hari ini Rp14.158/US$, defisit sepanjang tahun tersebut setara Rp123,89 triliun. Angka ini sekaligus memecah rekor sebagai defisit perdagangan terbesar yang pernah dialami Indonesia sejak 75 tahun silam. Bukan main!
Badan Pusat Statistik (BPS) baru-baru ini merilis total impor Indonesia 2018 tercatat US$188,6 miliar atau naik 20,15%. Kenaikan impor terjadi pada barang konsumsi 22,02%, dan barang modal 19,54%. Sebaliknya, impor bahan baku pada Desember turun 13,49% dibanding November. Berdasarkan asal negara utama, impor ini terbesar dari China US$45,24 miliar. Berikutnya Jepang US$17,94 miliar dan Thailand US$10,85 miliar.
Jokowi dan para pembantu ekonominya, seperti biasa, ngeles. Mereka menyodorkan seabrek pembenaran tentang neraca perdagangan yang njomplang luar biasa. Menko Perekonomian Darmin Nasution, misalnya, malah minta agar defisit perdagangan itu tidak usah dibesar-besarkan.
Sejatinya, saat ini orang yang paling bertanggungjawab di bidang perdagangan, tentu saja, adalah Menteri Perdagangan Engartiasto Lukita. Kader Partai Nasdem ini punya peran amat penting pada merah-birunya rapor perdagangan, khususnya ekspor-impor.
Sayangnya, rekam jejak mantan Ketua Real Estate Indonesia (REI) sebagai Mendag justru bertabur dengan angka merah. Sejak didapuk menjadi Mendag pada 27 Juli 2016, Enggar dikenal sebagai menteri yang paling getol melakukan impor, khususnya produk pangan. Beras, gula, jagung, daging, kedelai, gula, bahkan garam pun tak luput dari komiditas yang dia datangkan dari negeri lain.
Banyak kalangan merasa miris bahkan marah dengan polah Enggar. Pasalnya, impor berbagai produk pertanaian/pangan itu justru dilakukan saat panen raya. Panen yang seharusnya adalah saat-saat yang membahagiakan petani, justru berbalik menjadi hari-hari penuh duka dan nestapa. Banjir impor produk serupa, telah memukul harga hasil pertanian mereka.
Laba superdahsyat
Tidak sulit untuk memahami fenomena impor komoditas pangan yang kian sering terjadi belakangan ini. Impor produk pangan adalah jalan pintas paling mudah untuk mengeruk laba sangat besar. Sebut saja garam, misalnya. Banyak orang tidak menyadari, bahwa dari komoditas ‘sepele’ ini, keuntungan dalam jumlah triliunan rupiah bisa dengan gampang diraup.
Menurut Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia Tony Tanduk, harga garam impor berkisar US$25-US$40/ton, tergantung volume impornya. Kian besar volume impor, kian murah harganya. Kalau diambil rata-rata harganya US$30/ton saja, dengan kurs Rp14.158/US$, nilainya setara dengan Rp424.740/ton. Untuk memudahkan, kita bulatkan saja menjadi Rp425.000/ton, atau Rp425/kg.
Setelah diolah dengan tambahan iodium dan zat ini-itu, plus dikemas dan lain-lainnya, katakanlah harganya menjadi Rp2.000/kg. Anda tahu, berapa harga garam yang dibayar emak-emak untuk keperluan dapur mereka? Biasanya mereka membeli per 250gr pada harga Rp4.000 alias Rp16.000/kg!
Katakanlah importir menjual ke pedagang/distributor besar pada Rp8.000/kg. Dari sini ada keuntungan Rp6.000/kg. Sekarang, kalikan dengan 3,7 juta ton impor garam yang Pemerintah (baca; Menteri Perdagangan) putuskan pada Maret 2018. Maka keuntungan yang diraup para mafia garam adalah Rp22,2 triliun!
Bayangkan, Rp22,2 triliun keuntungan pengusaha pemegang hak kuota impor dari Enggar dari garam saja. Kini anda bisa membayangkan, berapa laba mereka dari impor gula, kedelai, daging, jagung, beras, dan lainnya. Sungguh sangat mengerikan.
Gelimang keuntungan super-super-superjumbo itu dimungkinkan karena impor produk pangan dan pertanian kita menerapkan sistem kuota. Jatah alokasi kuota itu hanya hingga pada segilintir pengusaha besar yang dekat dengan kekuasaan. Dengan keuntungan superfantastis tadi, buat para pengusaha tidak soal kalau harus menyisihkan sebagian untuk para pejabat publik berwenang.
Amunisi politik
Tidak bisa tidak, impor produk pangan bukan sekadar perkara dagang yang menghasilkan keuntungan dahsyat. Ia juga sarat dengan aroma politik yang menyengat. Inilah yang sejak beberapa tahun silam disuarakan dengan lantang oleh ekonom senior Rizal Ramli tentang buruknya sistem kuota impor.
RR, begitu Rizal Ramli biasa disapa, sudah lama mendesak sistem kuota dihapuskan dan diganti dengan sistem tarif. Dengan begitu dipastikan impor kita akan lebih kompetitif karena tidak dikuasai segelintir mafia impor yang menjadi kartel. Harga bahan pangan akan lebih murah dan terjangkau oleh rakyat kecil.
Mantan Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) itu benar. Tidak sulit untuk memahami fenomena impor komoditas pangan yang kian sering terjadi belakangan ini. Impor produk pangan adalah jalan pintas paling mudah untuk mengeruk laba sangat besar. Dengan fulus yang berlimpah, apa saja bisa dilakukan. Termasuk dan terutama menyogok pejabat dan atau membiayai syahwat politik yang menggelegak. Itu sebabnya perselingkuhan penguasa dan pengusaha di ranah ini seperti tidak pernah berakhir.
Sampai di sini, selain Enggar sebenarnya ada orang lain yang (lebih) bertanggungjawab. Dialah Jokowi. Selaku Presiden, Jokowi memegang kendali penuh atas impor, khususnya produk pangan dan pertanian.
Pertanyannya, bagaimana mungkin Jokowi bisa membiarkan permainan yang amat kasar sekaligus tak bernurani ini? Tidakkah menteri-menteri menyadari betapa buruk akibat perilaku menteri dan para kroninya bagi nasib petani?
Pertanyaan berikutnya, mengapa dia tidak kunjung mencopot Enggar? Bukankah perilaku si menteri jelas-jelas bertentangan dengan jargon Trisakti dan Nawa Cita yang jadi jualan Jokowi saat Pilpres 2014 silam? Bukankah karena dagangannya itu dia bisa meraup suara lebih banyak ketimbang para pesaingnya? Dan, ini yang paling penting, bukankah sebagai Presiden dia harus merealisasikan janji-janjinya selama nyapres?
Tentu ada penjelasan hingga kini Enggar masih duduk anteng, adem-ayem tanpa ada sedikit pun tanda-tanda bakal kena gusur. Alasan paling logis untuk itu adalah, Jokowi tersandera! Jika dia mencopot Enggar, bukan mustahil Partai Nasdem tempat mantan politisi Golkar ini bernaung bakal marah besar. Langkah selanjutnya, Nasdem akan balik kanan, tidak lagi mengusung Jokowi sebagai Capres pada 2019.
Skenario inilah yang sepertinya menghalangi Jokowi memecat Enggar. Risikonya terlalu besar jika sampai Nasdem cabut dari koalisi. Perolehan suara yang terkumpul tidak cukup untuk mengantarkannya ke ajang Pilpres.
Hal-hal seperti inilah yang lagi-lagi membuat RR geram. Dia bahkan sempat bersitegang dengan Ketum Nasdem Suryo Paloh. Maklum, saat itu Rizal Ramli menduga Jokowi tidak berani mencopot Enggar karena ‘takut’ terhadap Surya Paloh.
Padahal saat kampanye Capres 2014 silam, Jokowi menyatakan petani harus dimuliakan. Harus stop impor. Bukan cuma impor beras. Dia juga berjanji, kalau terpilih menjadi Presiden, akan menyetop impor daging, stop impor kedelai, sayur, buah, dan ikan. Alasannya, Indonesia punya semua itu, dan berlimpah-ruah.
Dengan fakta-fakta seperti ini, Jokowi telah gagal. Dia gagal mengamankan neraca perdagangan sehingga menyebabkan defisit menganga lebar. Lebih dari itu, dia gagal menyejahterakan petani yang menjadi bagian (ter)penting penduduk negeri ini.
Masih ngotot mau maju lagi? Tapi, masihkah ada rakyat yang bersedia memilihnya kembali?
Oleh Edy Mulyadi, Wartawan Senior