Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Kebutuhan gula nasional dibagi menjadi dua sektor, yaitu Gula Kristal Rafinasi untuk keperluan industri pengolahan makanan dan minuman, dan Gula Kristal Putih untuk keperluan konsumsi masyarakat. Gula Kristal Rafinasi tidak boleh dijual untuk konsumsi masyarakat.
Produsen gula juga dibagi dua, Gula Kristal Rafinasi diperoleh dari hasil produksi pabrik gula rafinasi, dengan menggunakan bahan baku Gula Kristal Mentah, yang seluruhnya berasal dari impor. Selain itu, pabrik gula rafinasi juga bisa memproduksi Gula Kristal Putih, dengan bahan baku Gula Kristal Mentah.
Sedangkan produksi Gula Kristal Putih diproses di pabrik gula (kristal putih) dengan menggunakan bahan baku tebu dari perkebunan rakyat, perkebunan swasta besar dan perkebunan BUMN.
Peraturan impor gula untuk periode 17 September 2004 sampai dengan 31 Desember 2015 menggunakan dasar hukum Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 527/MPP/Kep/9/2004 (Kep MPP 527/2004).
Berdasarkan Peraturan Kep MPP No 527/2004, perusahaan yang boleh impor bahan baku Gula Kristal Mentah (dan Gula Kristal Rafinasi) adalah perusahaan produsen gula (rafinasi) yang sudah memiliki izin impor sebagai Importir Produsen Gula (IP Gula), tanpa perlu mendapat persetujuan impor lagi dari Direktur Jenderal atau Menteri, dan tanpa perlu ada rapat koordinasi. Karena pengakuan IP Gula secara gungsional juga berfungsi sebagai persetujuan impor.
Sebagai pertangungjawaban, perusahaan produsen gula pemilik IP Gula wajib menyampaikan laporan tertulis: a) setiap bulan tentang pelaksanaan impor Gula Kristal Mentah dan Gula Kristal Rafinasi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya dari setiap bulan pelaksanaan impor, b) setiap enam bulan tentang realisasi produksi dan distribusi hasil produksi Gula Kristal Rafinasi, dan c) setiap enam bulan tentang realisasi produksi dan distribusi hasil produksi Gula Kristal Putih.
Butir c) di atas menegaskan secara eksplisit bahwa pasokan Gula Kristal Putih domestik juga bisa dipenuhi dari jalur produksi (pabrik gula rafinasi), dengan menggunakan bahan baku Gula Kristal Mentah untuk diolah menjadi Gula Kristal Putih.
Oleh karena itu, pernyataan Direktur Penyidik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar, bahwa pemenuhan kekurangan Gula Kristal Putih nasional hanya bisa dilakukan melalui impor Gula Kristal Putih adalah tidak benar.
Nampaknya, ini yang dilakukan oleh Tom Lembong, memenuhi defisit Gula Kristal Putih 2015 (dan 2016) melalui jalur produksi dari bahan baku Gula Kristal Mentah.
Pemenuhan defisit Gula Kristal Putih melalui produksi (dari bahan gula kristal mentah menjadi gula kristal putih) jauh lebih menguntungkan perekonomian nasional dari pada impor barang jadi Gula Kristal Putih.
Karena pertama, impor Gula Kristal Mentah untuk diolah menjadi Gula Kristal Putih menciptakan nilai tambah bagi perekonomian dalam negeri dan kedua, harga impor Gula Kristal Mentah jauh lebih murah dari harga impor Gula Kristal Putih sehingga menghemat devisa negara.
Karena itu, Tom Lembong seharusnya diberi penghargaan oleh pemerintah karena telah memberi manfaat dan keuntungan bagi perekonomian nasional, bukan malah menjadikannya tersangka dan ditahan, dengan tuduhan merugikan keuangan negara yang tidak masuk akal.
Sebagai konsekuensi, perjanjian antara PT PPI dengan 8 perusahaan produsen gula swasta pemilik IP Gula, untuk memproduksi Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih, dan menyerahkannya (menjual) kepada PT PPI, untuk memenuhi defisit Gula Kristal Putih nasional, adalah sah menurut peraturan Kep MPP 527/2004.
Hasil produksi Gula Kristal Putih dari 8 produsen gula swasta tersebut diserahkan (dibeli) kepada PT PPI, untuk kemudian dijual atau didistribusikan kepada subdistributor (pelanggan) PT PPI. Untuk itu, PT PPI mendapat marjin keuntungan sebesar Rp105 per kg. Mempeoleh marjin keuntungan untuk transaksi seperti ini adalah sangat normal. Kejagung menyebut marjin keuntungan tersebut dengan ‘fee’, untuk memberi pesan negatif.
Praktek bisnis seperti yang dilakukan oleh PT PPI dengan 8 perusahaan produsen gula swasta tersebut sangat wajar, bukan saja di Indonesia tetapi juga di dunia internasional. Dunia bisnis menyebutnya maklon (maakloon), atau contract manufacturing.
Penyerahan barang dalam contract manufacturing tidak perlu harus masuk ke gudang PT PPI, tetapi bisa dikirim langsung dari gudang produsen gula ke gudang pelanggan PT PPI. Praktek logistik seperti ini juga sangat normal dan dilakukan oleh banyak perusahaan di dunia.
Selama marjin keuntungan Rp105 per kg tersebut masuk ke kas PT PPI, maka marjin keuntungan yang diterima PT PPI adalah sah, dan jelas bukan merupakan kerugian keuangan negara, dan bukan korupsi.
Seandainya ada oknum PT PPI menerima kickback komisi atau suap dari delapan perusahaan produsen gula swasta tersebut, maka itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab oknum bersangkutan dan perusahaan swasta.
Artinya, kasus suap tersebut tidak bisa dibebankan kepada Menteri Perdagangan Tom Lembong, terkait dengan pemberian izin impor Gula Kristal Mentah untuk diolah menjadi Gula Kristal Putih Kecuali Tom Lembong menerima uang dari korupsi tersebut. Tetapi, menurut pengakuan Kejagung, sejauh ini tidak ada aliran dana ke Tom Lembong.
Kejagung menilai ada kerugian negara sebesar Rp400 miliar akibat (pelanggaran peraturan dalam) pemberian izin impor Gula Kristal Mentah untuk diolah menjadi Gula Kristal Putih. Menurut Kejagung, kerugian negara ini berasal dari nilai keuntungan yang diperoleh delapan perusahaan produsen gula swasta yang seharusnya menjadi milik negara atau BUMN, yaitu PT PPI.
Pendapat Kejagung tersebut merupakan kesalahan logika konstruksi berpikir yang sangat fatal. Pertama, pemenuhan defisit Gula Kristal Putih nasional melalui produksi dalam negeri (dengan bahan baku Gula Kristal Mentah impor) lebih menguntungkan bagi negara dan perekonomian nasional, yaitu meningkatkan nilai tambah ekonomi dan menghemat devisa negara seperti dijelaskan di atas. Karena impor Gula Kristal Mentah lebih murah dari impor Gula Kristal Putih.
Kedua, kalau keuntungan pabrik dalam negeri (yang mengolah Gula Kristal Mentah menjadi Gula Kristal Putih) dianggap kerugian keuangan negara, maka keuntungan pabrik di luar negeri (yang mengolah dan menghasilkan Gula Kristal Putih) juga harus dianggap kerugian keuangan negara bahkan dengan nilai yang lebih besar.
Sebagai penutup, menteri diberi wewenang penuh untuk membuat pengecualian terhadap peraturan Ketentuan Impor Gula seperti ditetapkan Pasal 23 Kep MPP 527/2004 yang berbunyi: “Pengecualian terhadap ketentuan dalam keputusan ini hanya dapat ditetapkan oleh Menteri.”
Berdasarkan uraian di atas, tidak ada alasan Kejagung menetapkan status tersangka kepada Tom Lembong, karenanerdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu: a) impor gula kristal mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih oleh perusahaan swasta dalam negeri adalah sah, dan bahkan mengubuadibudintungkan perekonomian nasional, b) pemberian izin impor gula tidak perlu rapat koordinasi adalah sah, c) marjin keuntungan perusahaan swasta yang diperkirakan mencapai Rp400 miliar bukan merupakan kerugian negara.
[***]