Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat, Aktivis dan Ekonom Kebijakan Publik.
Reformasi memasuki usia 25 tahun. Perubahan dari rezim otoriter ke rezim reformasi sudah berjalan sejak 1998-2023 tersebut diwarnai banyak warna.
Ada warna cerah, ada juga warna suram. Warna cerah adalah bebasnya warga negara berekspresi dan berserikat. Sedangkan warna suramnya adalah persoalan ekonomi.
Ekonomi dirasakan dalam kurun 25 tahun tidak menunjukan situasi perubahan ke arah positif. Sebut saja soal pertumbuhan ekonomi. Ekonomi kita dibandingkan periode orde baru (sebelum 1998) tumbuh rerata 7 persen. sementara sejak reformasi terus turun dari 7 persen hanya 5.0 persen pada 2014-2023.
Warna suram reformasi yang paling gelap adalah akumulasi utang. Utang adalah residu paling buruk dari era Reformasi 1998-20223. Karena utang menunjukan beban generasi masa depan semakin besar, sementara kesejahteraan makin menurun.
Ternyata sejak reformasi 1998, NKRI terus nambah utangnya.
Data posisi utang RI per 31 Maret 2023 adalah Rp7,879.07 Triliun atau naik 738 persen (naik sebanyak Rp6,939 T) dari utang RI pada awal reformasi 1999 yaitu sebesar Rp940 Triliun. Ini menunjukan dalam kurun 25 tahun reformasi. Posisi utang Indonesia tumbuh 30 persen setiap per tahun atau bertambah Rp278 triliun per tahun.
Siapa Pemimpin Paling Banyak Berutang dalam 25 Tahun Reformasi Indonesia?
Reformasi ditandai dengan jatuhnya Presiden Soeharto kemudian berlanjut dengan Pemerintahan Gusdur/Megawati 1999-2004, SBY 2004-2014, Jokowi 2014-2024.
Melihat dari pertumbuhan utang 25 tahun Reformasi. Presiden Jokowi sejak 2014 sampai 2023 saat ini merupakan Presiden paling banyak berutang. Utang pada periode pertama Jokowi 2014-2019 tercatat bertambah Rp2,178 Triliun atau tumbuh 83,5 persen dan utang periode Jokowi kedua 2019-2023 bertambah 3,092 triliun atau tumbuh 64,6 persen. Akumulasi Total Utang Jokowi 2014-2019 tercatat sebesar Rp5,270 Triliun atau hampir 150 kali lipat dari Periode terakhir SBY.
Pemimpin yang paling agresif dalam ber-Utang adalah Presiden Jokowi baik dalam kurun 2014-2019 tumbuh 83,5 persen (paling terakselerasi) maupun kurun 2019-2023 tumbuh 64,6 persen. Utang 2023-2024 diprediksi akan bertambah lebih besar lagi.
Utang ini belum termasuk utang untuk infrastruktur Kereta Api Cepat yang dinyatakan akan dilakukan pada April 2023. Besar kemungkinan posisi utang Jokowi sampai akhir 2024 akan melampaui Rp8000 Triliun. Posisi utang ini adalah posisi utang terbesar dalam sejarah NKRI berdiri sejak tahun 1945.
Bila melihat komposisi Posisi Utang Luar Negeri Rp7879 triliun pada 31 Maret 2023 dijelaskan sebagai berikut.
Surat Utang Negara Mayoritas Dimiliki Bank Indonesia dan Perbankan Pertanda Suramnya Masa Depan Global Bond RI
Utang yang berasal dari SUN Domestik penyumbang terbesar 58,4 persen dimana jenis ini sebagian dimiliki asing dan sebagian dimiiliki entitas domestik. Total kepemilikan asing dalam utang Indonesia per Maret 2023 adalah 14,61 persen dan Entitas domistik pembeli SUN mayoritas adalah Bank Indonesia 26 persen dan Perbankan domestik 24,5 persen.
Mayoritas kepemilikan SUN oleh Bank Indonesia dan Perbankan domestik menunjukan surat berharga negara tersebut tidak cukup aman dan tidak cukup profitable dipandang investor internasional. Mayoritas SUN dimiliki Bank Indonesia karena BI membeli SUN (26 persen total utang) karena ada paksaan “skema burden sharing 2020-2022” lalu.
Utang Tumbuh, Kesejahteraan Per Kapita Turun
Kecepatan pertumbuhan utang dalam 25 tahun reformasi (1999-2023) adalah 30 persen per tahun. sementara peningkatan PDB perkapita dalam kurun yang sama hanya 8,55 persen. Ini menunjukan selama 25 tahun reformasi penambahan utang tidak sebanding penambahan kesejahteraan perkapita masyakarat Indonesia. Lantas untuk apa Rezim Reformasi berutang bila kesejahteraan rakyat terabaikan.
Patut diingat berdasarkan data BPS tentang PDB perkapita, di zaman orde baru 1971-1998 PDB perkapita meningkat tajam dari Rp5.074.517 (1966) naik menjadi Rp18.943.101 (1998) atau meningkat secara tahunan 12 persen tiap tahun dalam 32 tahun berkuasanya orde baru. PDB perkapita reformasi 1997-2022. dari Rp6,8 juta (2000) menjadi Rp62,2 juta (2021) atau meningkat Rp55,4 juta dalam 21 tahun dengan secara rata-rata tumbuh 8,55 persen.
Pemerintahan 2024-2029 Tidak Sanggup Meningkatkan Kesejahteraan Karena Debt Trap
Selama periode 25 tahun Reformasi, Indonesia terjebak dalam jeratan utang (debt trap) dimana porsi kesejahteraan sosial terus tergerus karena untuk membayar bunga dan pokok utang yang makin besar tersebut. Bayangkan APBN tiap tahun yang digunakan untuk kesejahteraan sosial hanya 15 persen belanja negara sementara untuk membayar utang pokok dan bunga mencapai 30 persen belanja. Sisanya untuk belanja SDM dan ASN.
Dengan komposisi seperti ini, Pemerintah 2024-2029 kedepan tidak akan banyak menyelesaikan persoalan kesejahteraan, padahal Ekonomi 2024-2029 diwarnai isu ketimpangan dan ketidakmerataanya pendapatan dimana intervensi negara akan sangat diperlukan.
Sayangnya, potensi negara untuk melakukan intervensi ekonomi sudah dilumpuhkan akibat akumulasi utang.
Terpuruknya kesejahteraan di masa depan juga terlihat dari data ketimpangan lahan dan ketimpangan ekonomi gini rasio.
Pada September 2021, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio adalah sebesar 0,381. Bandingkan tahun 1996 (akhir orde baru) gini rasio lebih rendah atau lebih merata pengeluaran penduduk yaitu 0.36. Ini menunjukan reformasi hanya memperparah ketimpangan ekonomi masyarakat.
Ketimpangan ekonomi Indonesia terburuk tahun 2021 versi Credit Suisse yaitu 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Laporan dikeluarkan oleh Survei Lembaga Keuangan Swiss, Credit Suisse. Ketimpangan terburuk di Indonesia adalah yang ke-4 di dunia.
Jalan Keluar: Butuh Ekonomi Arah Bangsa Baru
Sebagai ekonom kebijakan publik dan aktivis mahasiswa pada reformasi 1999, kami memandang bahwa perbaikan ekonomi selama era 25 tahun Reformasi sudah kehilangan makna.
Risiko debt trap makin besar, tidak efektifnya APBN untuk menciptakan kesejahteraan, PDB per kapita terus turun, investasi infrastruktur tidak menguntungkan ekonomi dan praktik korupsi pejabat dan aparatur pemerintahan begitu marak dan masif menambah kesimpulan bahwa arah reformasi bangsa tidak sesuai lagi dengan yang dicita-citakan. Bila kesejahteraan warga sudah diabaikan, negara pun akan rentan dari serangan ekternal.
Bangsa ini benar-benar butuh kebijakan ekonomi baru terkait Arah Bangsa Kedepan. Bila tidak siapa pun Presiden 2024-2029 kedepannya entah Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, maupun Prabowo Subianto tidak akan melakukan banyak perubahan kesejahateraan karena Debt Trap ulah pemerintahan yang berutang massal tanpa tidak dipikirkan matang-matang.
[***]