KedaiPena.Com – Kegemaran Sri Mulyani menumpuk utang dinilai semakin menjadi-jadi. Belakangan, Sri Mulyani menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) untuk menutupi shortfall penerimaan pajak tahun lalu sebesar Rp 128,9 triliun.
Sementara, dari target sebesar Rp 1.198,82 triliun, realisasi penerimaan pajak tahun lalu hanya sebesar Rp 1.069,9 triliun atau 89,25 persen.
“Ini (kebijakan utang) bisa membuat Mas Jokowi bakal nyungsep ke bawah, ditarik ke bawah oleh SPG IMF, Menkeu Terbalik,” ujar begawan ekonomi Rizal Ramli di Jakarta, ditulis Minggu (2/5/2021).
Adalah Sri Mulyani yang dimaksud Rizal Ramli sebagai Sales Promotion Girl (SPG) dari International Monetary Fund (IMF).
Sementara “Menteri Terbalik” adalah sebutan yang belakangan diberikan kelompok ekonom kerakyatan untuk Sri Mulyani yang dinilai lebih mengedepankan kepentingan lembaga dan/atau negara pemberi utang.
Istilah “Menteri Terbalik” ini juga sindiran untuk gelar “Menteri Keuangan Terbaik” yang diterima Sri Mulyani dari Global Markets yang diterbitkan saat pertemuan sidang tahunan IMF-World Bank Group di tahun 2018 dan 2020.
Kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo terkait utang luar negeri yang dimotori Menteri Keuangan Sri Mulyani membuat ekonom senior DR. Rizal Ramli ‘deja vu’.
Praktik utang ugal-ugalan yang saat ini terjadi mengingatkan Rizal Ramli pada saat-saat terakhir pemerintahan Presiden Soeharto di tahun 1998.
Ketika itu, Soeharto termakan rayuan kelompok ekonom yang dimotori Widjojo Nitisastro untuk mengundang IMF dan menerima resep pemulihan ekonomi yang diajukan IMF.
Bukannya memperbaiki perekonomian nasional, resep yang ditawarkan IMF itu malah semakin menciptakan ketergantungan pada pihak asing.
“Akhirnya Soeharto jatuh,” ujar Rizal Ramli lagi.
Mantan Menteri Keuangan dan Menko Perekonomian di era Presiden Abdurrahman Wahid itu mengatakan, dirinya pernah mendengar pengakuan dari mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono yang dikenal sebagai salah seorang teman dekat Soeharto pada masa menjelasng Reformasi.
“Almarhum Moerdiono mengaku di depan saya dan seorang teman. Dia nyesal dan mengatakan kesalahan terbesar dalam kariernya adalah mengikuti saran Widjojo untuk membujuk Pak Harto mengundang IMF. Gara-gara itu, Pak Harto jatuh,” urai Rizal Ramli lagi.
Rizal Ramli yang juga pernah menjadi panel ekonom PBB membandingkan langkah Soeharto itu dengan langkah Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad.
Tidak seperti Soeharto, Mahathir Mohamad menolak kehadiran IMF. Penolakan Mahathir itu didasarkan pada saran Deputi Gubernur Bank Negara Malaysia, DR. Zeti Akhtar Aziz.
Karena tidak mengikuti resep perbaikan ekonomi ala IMF, Malaysia dapat melalui krisis ekonomi 1998 dan me-recovery ekonomi nasional dengan cepat. Adapun DR Zeti yang terbukti mengedepankan kepentingan nasional Malaysia diangkat menjadi Gubernur Bank Negara Malaysia di tahun 2000.
“Bukannya memperbaiki perekonomian nasional, resep yang ditawarkan IMF itu malah semakin menciptakan ketergantungan pada pihak asing,” ujar Rizal Ramli.
“Jadi (karena ikut saran Widjojo cs) ekonomi Indonesia anjlok dari rata-rata 6 persen ke minus (-) 13 persen. Rupiah anjlok dari Rp 2.500 per dolar AS ke Rp 15.000 per dolar AS, bank-bank rontok, sehingga perlu BLBI 80 miliar dolar AS. Pengangguran naik 40 persen, kerusuhan sosial, akhirnya Soeharto jatuh,” tutupnya.
Laporan: Muhammad Lutfi