SEJAK Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok menjadi Gubernur Jakarta hingga saat ini, kurang lebih seminggu menjelang pencoblosan putaran II Pilkada Jakarta 19 April nanti, entah sudah berapa kali Ahok dan timnya melakukan tindakan pelecehan dan penistaan terhadap Islam dan umat Islam.
Entah sudah berapa sering Ahok dan timnya melakukan pelecehan terhadap mereka yang tidak mendukung Ahok sebagai ekstrimis, radikalis, dan sebutan sinis lainnya. Entah sudah berapa kali Ahok dan timnya membuat pernyataan yang bernada adudomba sesama anak bangsa dan sesama umat Islam.
Terkini, tim Ahok membuat iklan kampanye yang sangat murahan, rasis, dan fasis, dengan nada kebencian terhadap umat Islam yang begitu luar biasa. Video iklan ini sudah beredar ke mana-mana.
Umat Islam digambarkan dalam iklan murahan tersebut sebagai ekstrimis, perusak, dan garis keras. Di sisi lain digambarkan dua orang etnis Cina (sepertinya anak dan ibunya) yang dalam posisi ketakutan yang terjebak di tengah kerusuhan.
Pada bagian lain, seorang Cina digambarkan begitu nasionalis membela tim sepakbola Indonesia. Iklan ini begitu provokatif dan sarat adu domba. Saya berani mengatakan bahwa pembuat iklan ini, termasuk yang menyuruh dan membiayai pembuatannya itu mempunyai mental yang sama: sakit, mempunyai mental provokator dan adu domba.
Iklan seperti ini harusnya disikapi secara serius oleh pihak kepolisian. Mereka yang membuat iklan murahan seperti itu sebenarnya lebih sadis dari mereka yang baru diduga sebagai teroris yang oleh pihak kepolisian bisa begitu mudah untuk dibunuhnya.
Ahok dan timnya mungkin tidak sadar atau sedang “tidak disadarkan†bahwa dengan iklan murahan tersebut, sebenarnya mereka sedang menabuh genderang kekalahan, sedang menggali lubang untuk mengubur diri mereka sendiri.
Sekarang Ahok dan timnya tentu tidak usah berpikir untuk menarik video konyol tersebut, sesuatu yang tidak mungkin. Tapi berpikirlah atau setidaknya merenunglah, kenapa begitu bodohnya, hanya kurang hitungan hari pemungutan suara kok bisa membuat iklan sebodoh itu.
Dari rententan penistaan, pelecehan, dan adu domba yang telah dilakukan oleh Ahok dan timnya, sulit rasanya untuk menyebut Ahok sebagai orang yang toleran, sulit rasanya untuk menyebut Ahok sebagai orang yang paham Pancasila dan paham Indonesia.
Dan bahkan sulit juga untuk tidak mengatakan bahwa Ahok bukan penganut atau pengidap fasisme dan rasisme.
Pastinya, sejak ketiban untung menjadi Gubernur Jakarta menggantikan Jokowi yang terpilih menjadi Presiden RI, karena pernyataannya, ujaran kebencian yang berbau SARA, termasuk juga kebijakan yang dibuatnya selama menjadi Gubernur Jakarta begitu bias dan lekat dengan SARA, daya rusaknya terhadap kohesifitas masyarakat dan harmoni kehidupan beragama di Jakarta dan Indonesia pada umumnya sangat luar biasa. Ucaran kebencian atas dasar SARA terjadi sangat luar biasa, baik secara kualitas maupun kualitas.
Bayangkan, sekarang masyarakat Jakarta dan juga masyarakat Indonesia umumnya, tidak saja di kalangan akar rumput, di kalangan akademisi, peneliti, dan kelompok masyarakat lainnya yang seharusnya sudah selesai persoalan SARA pun terpancing dan terbawa dalam keterbelahan. Benar-benar luar biasa daya rusak manusia bernama Ahok.
Bayangkan, bagaimana masyarakat tidak terbelah, sekarang mereka yang mendukung atau setidaknya bersimpatik pada Ahok menyebut pendukung Anies sebagai radikalis, ekstrimis, salafi, Wahabi. Ini kan sebutan yang sangat kasar dan sulit di nalar dengan baik, sekalipun dengan nalar akademik.
Mereka yang terlibat aksi-aksi 411 atau 212 dituduh sebagai radikalis dan garis keras. Padahal mayoritas peserta aksi adalah jamaah NU dan Muhammadiyah. Sementara dua organisasi ini kerap disebut sebagai representasi Muslim moderat (wasathiyah).
Sebaliknya, seakan pendukung Ahok itu yang moderat, tidak ada yang ekstrim, dan penganut garis keras. Padahal kebanyakan pendukung Ahok itu yang sangat radikal, sekularis radikal, sekularis garis keras atau sekularis fundamentalis.
Jauh sebelum Ahok menjadi Gubernur Jakarta, ketegangan masyarakat, utamanya terkait “pertarungan” wacana antara kelompok garis keras Islam vs kelompok garis keras sekularis plus abangan, dan dibumbui oleh mereka yang kerap mengklaim sebagai kelompok moderat (wasathiyah) memang sudah terjadi, namun tidak sepanas seperti saat ini.
Faktor Ahok menjadi penyumbang terbesar bagi memanasnya suhu keumatan dan kemasyarakatan di Jakarta dan Indonesia pada umumnya.
Kenapa faktor Ahok? Pertama, Pilkada Jakarta bukan kali ini saja berlangsung. Bahkan saat Pilkada 2012, ketika Ahok masih sebatas menjadi calon Wakil Gubernur sempat terjadi pula ketegangan, namun ketegangan yang terjadi tidak seperti saat ini: begitu tegang dan memanas.
Jokowi yang saat itu menjadi calon Gubernur, dengan kesantunan dan gaya “ndeso”-nya relatif mampu meredam ketegangan yang terjadi saat itu.
Kedua, andai saja Ahok hanya sekadar menyandang predikat sebagai non-Muslim, saya yakin suasana politik juga tak akan sepanas saat ini. Dalam pandangan saya, dalam batas tertentu, umat Islam di Indonesia relatif sudah selesai dalam persoalan yang terkait dengan pemimpin non-Islam.
Kalaulah ada kelompok yang merasa belum selesai itu pun tidak cukup significant dan dalam negara Pancasila itu sah-sah saja dan dilindungi undang-undang. Seseorang yang memilih pemimpin dengan bertimbangan agama, termasuk pertimbangan suku, bahkan mungkin warna kulit sekalipun itu sah saja dan dilindungi undang-undang.
Di lingkup pemilihan anggota DPR RI, caleg dari partai nasionalis dan non-Islam terpilih di daerah pemilihan yang dihuni mayoritas Islam, sering terjadi dan bahkan sangat biasa banget. Di lingkup Pilkada, di luar Pilkada Jakarta saat ini, partai Islam mendukung calon non-Islam juga sering dilakukan dan biasa saja juga.
Ini setidaknya menjadi bukti bahwa soal keIndoneaian di sebagian besar umat Islam Indonesai itu sudah selesai. Dan ini sekaligus menjadi bukti bahwa umat Islam Indonesia sangat toleran.
Persoalannya, selain sebagai non-Muslim, Ahok juga mengidap kelakuan yang tidak lazim dengan kebanyakan masyarakat Indonesia. Seperti saya sebutkan di atas, Ahok itu gambaran manusia yang sangat intoleran, kasar, bengis, coba perhatikan wajahnya ketika marah-marah.
Ahok juga sangat fasis dan rasis. Sikap fasis dan rasisnya ini tergambar sekali dalam kebijakan-kebijakannya yang sangat pro Cina. Sekadar contoh, mau memakai dalil pembelaan apapun untuk Ahok, faktanya Ahok lebih punya keberanian menggusur Kalijodo ketimbang tempat pelacuran yang dikelola Cina.
Sikap yang dipertontonkan Ahok inilah yang membikin amarah warga Jakarta dan bahkan warga di luar Jakarta. Bahwa faktor agama mungkin akan mempengaruhi seseorang untuk memilih atau tidaknya, tapi percayalah bahwa bukan faktor agama yang dianut Ahok yang menyebabkan Muslim tidak memilih Ahok, tapi semata karena faktor kelakuan Ahok lah yang membikin muak warga Jakarta dan insya Allah akhirnya tidak akan memilihnya pada tanggal 19 April 2017 mendatang.
Makanya, kalau nanti pada tanggal 19 April 2017 Ahok benar-benar mengalami kekalahan, yang setidaknya tanda-tandanya sudah mulai kelihatan, jangan “salahkanâ€agama Ahok, tapi salahkan kelakuan, keintoleran, kefasisan, dan kerasisan Ahok.
Kalau mendasarkan pada hasil-hasil survey LSI (Denny JA), sepertinya hanya kecurangan yang akan bisa memenangkan Ahok. Kenapa LSI yang saya sebut? Jawabnya sederhana, kan faktanya lembaga survey lainnya, terlebih lembaga survey Ahoker, tidak punya keberanian untuk mengumumkan hasil surveinya.
Saya tidak ber-KTP Jakarta, maka hanya lewat tulisan seperti inilah saya berpartisipasi untuk menghentikan laju Ahok kembali menjadi Gubernur Jakarta. Sosok seperti Ahok sangat dan sangat tidak layak menjadi Gubernur di Jakarta, bahkan di provinsi manapun di Indonesia. Hanya orang yang mengerti Pancasila dan Indonesia yang pantas jadi Gubernur Jakarta.
Oleh Ma’mun Murod Al-Barbasy, Akademisi Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ)