KedaiPena.Com – Keadaan krisis di Indonesia yang terjadi pada tahun 1998 dan 2008 bermula dari tekanan terhadap lembaga keuangan. Kemudian berimbas kepada sektor riil yang turut menekan daya beli masyarakat.
“Krisis 1998, 2008, dan 2020?. Krisis 2020, sejak awal sudah multidimensi baik dari sosial dan ekonomi. Lalu dari sisi ekonomi, yang pertama kali terpukul adalah daya beli masyarakat (pasar), sehingga berimbas kepada korporasi (produksi),” ucap Head of Research Data Indonesia Herry Gunawan, Selasa, (30/6/2020).
Ia pun memaparkan beberapa indikator, seperti data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada pertumbuhan Konsumsi Rumah Tangga pada kuartal I-2020 sebesar 2,84 (YoY), sementara kuartal I-2019: 5,01 (YoY).
“Sementara survei SMRC pendapatan 77% masyarakat turun. Data BPS, pekerja di sektor informal pada Februari 2020 mencapai 56,50%,” tambahnya.
Selain itu, pria yang akrab di sapa Herry, mengatakan neraca keuangan pemerintah memasuki jebakan utang, karena anggaran pemerintah untuk membiayai belanja, termasuk pembangunan, subsidi, bahkan suntikan ke BUMN, kian sulit diandalkan.
“Setiap tahun defisit, sejak 2012 keseimbangan primer, selisih penerimaan terhadap pengeluaran di luar biaya bayar bunga utang sudah negatif. Jumlahnya semakin besar, dan pada 2020 yang mencapai Rp558 triliun,” katanya.
“Keseimbangan primer yang negatif membuat pemerintah tidak memiliki dana cukup untuk membayar bunga utang. Dengan demikian, bahkan bunga utang apalagi pokoknya harus dibayar dengan utang,” sambungnya.
Selanjutnya, Herry pun menjelaskan kemampuan anggaran membiayai belanja dan utang kian melemah, tingkat penerimaan yang digunakan untuk membiayai belanja pemerintah termasuk membayar bunga dan pokok utang terus turun.
“Pada saat bersamaan, tingkat beban anggaran dari utang terus meningkat.
Tren rasio utang terhadap PDB terus meningkat, menjadi 30,55% ada 2019. Sedangkan pada 2020, terus melaju dan akan menjadi 32,51. Sedangkan rasio penerimaan terhadap PDB terus menurunan, terutama sejak 2014 tidak pernah lagi di atas 10%. Bahkan pada 2019 menjadi 9,76% dan bakal menjadi 8,38% pada 2020,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Herry pun mengatakan untuk pemerintah pusat dan BUMN, utang sudah seperti candu. Bahkan, lanjut Herry, seperti minum obat, setiap Selasa pemerintah selalu menerbitkan surat utang untuk menutupi belanjanya. Hingga 2019, gabungan utang pemerintah dan BUMN sudah sekitar Rp10.069 triliun, sehingga terus melaju tanpa jeda.
“Setiap tahun, anggaran pemerintah juga harus berpacu untuk membayar bunga utang yang kian tumbuh tersebut. Pada 2020, jumlahnya Rp295 triliun, naik dari 2019 yang Rp276 triliun. Begitu juga dengan BUMN, sehingga sekali lagi utang telah menjadi candu bagi pemerintah maupun BUMN,” ujar Herry
Ia pun mengungkapkan, penerima manfaat terbesar pada kebijakan pemerintah di tengah kepanikan ini. Dari tiga paket stimulus yang telah dikeluarkan oleh pemerintah lebih berorientasi kepada korporasi.
Baik melalui restrukturisasi kredit yang hingga Mei 2020 telah mencapai Rp517 triliun untuk 5,3 juta debitur, maupun stimulus fiskal yang pada Paket Stimulus Ketiga (April) nilainya Rp405 triliun.
Padahal, lanjut dia, dalam kondisi krisis daya beli seperti sekarang kelompok masyarakat yang paling terpukul adalah desil 1-4 yang pendapatannya Rp652.414 per bulan/individu jumlahnya ada sekitar 104 juta jiwa.
“Hal itu sejalan dengan survei BPS 2020 yang mengatakan 70,53% masyarakat pendapatan rendah dengan pengeluaran Rp1,8 juta per bulan mengalami penurunan pendapatan,” tandasnya.
Laporan: Muhammad Lutfi