KedaiPena.Com – Anggota Komisi XI DPR RI Didi Irawadi Syamsuddin menilai, rencana pemerintah melalui Kementerian Keuangan untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2022 sangatlah tidaklah ideal.
“Dalam situasi dimana masyarakat banyak mengalami daya beli menurun, dan perusahaan terancam bangkrut dan atau menurun kinerja usahanya, kiranya PPN walaupun direncanakan tahun 2022, tidaklah ideal,” kata Didi begitu ia disapa, Sabtu, (15/5/2021).
Bahkan, lanjut Didi, jika 2022 keadaan ekonomi susah membaik pun, perlu semacam insentif bagi usaha yang masih bertahan.
“Meski mereka (pemerintah) hanya memungut PPN, tapi harga yang dibayar konsumen jadi naik, dan akan berdampak pada penjualannya serta daya beli konsumen,” tegas Didi.
Didi menjelaskan, pada masa pandemi, banyak konsumen menggunakan tabungannya dan beberapa pengusaha menganggap penghasilan bunga lebih menguntungkan.
Hal ini, tegas Didi, tampak dari jumlah tabungan di Bank yang malah naik di masa pandemi sementara Loan to Deposit Rationya malah turun.
“Insentif pada pengusaha dengan tidak menaikkan PPN ini sudah sangat minimal, seharusnya perlu insentif lebih karena mereka ibarat “restart” dalam usahanya,” ungkap Didi.
Legislator Partai Demokrat ini menerangkan, dengan peningkatkan PPN pada daya beli konsumen yang katakanlah asumsinya baru pulih pada tahun 2022 juga tidak berkeadilan bagi masyarakat.
“Yang pengeluaran untuk berbagai hal tidak menurun selama pandemi seperti SPP bagi sekolah, listrik rumah tangga untuk KWH tertentu dan lain-lain,” papar Didi.
Tidak hanya itu, Didi memandang, rencanan dinaikan PPN pada tahun 2022 tidak tepat.
“Jika berlaku seperti selama ini bukan Purpossive pada produk tertentu saja,” tegas Didi.
Dengan demikian, lanjut Didi, sebaiknya Pajak Penghasilan atau PPH yang dinaikkan. Meskipun diterapkan terhadap yang penghasilannya minimal bertahan, bagus dan naik selama pandemi.
“Dirjen pajak punya mestinya data ini dan ini lebih realistis karena berbasis Penghasilan,” tutur dia.
Didi menambahkan, kenaikan diterapkan bukan yang baru recovery dari penghasilan dan sempat turun, apalagi masih turun tidak pantas dinaikkan PPH-nya.
“Yang pasti bukan dengan menaikan pajak final 0,5% dari Omset atas usaha kecil yang banyak di Indonesia serta bukan menaikkan PPH (malah mungkin perlu semacam “tax holiday”) bagi sektor yang tadinya terpukul, misalnya sektor Pariwisata,”. papar Didi.
Didi berharap, jikapun PPN tetap akan dinaikkan, seharusnya diterapkan kepada produk tertentu yang demandnya di pasar tidak terdampak pandemi bahkan naik.
“Misal, beberapa platform transaksi online, selain juga produk-produk mahal dan barang mewah,” tandas Didi.
Laporan: Muhammad Hafidh