Artikel ini ditulis oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi.
Kebocoran data, apapun motif yang melatarbelakanginya merupakan tindakan kecerobohan dan kelalaian pihak pengelola. Jika, hal ini dibiarkan akan merambah ke ranah yang lebih pribadi dalam hubungan para pihak yang datanya dimilikinya oleh pihak ketiga serta berpotensi disalahgunakan dan menjadi sumber konflik. Yang mutakhir, terlihat pada kasus penyalahgunaan kartu tanda penduduk (KTP) bagi pasangan calon pimpinan kepala daerah di wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Kasus lain dan lebih jamak terjadi adalah diberikannya nomor telepon genggam pribadi kepada pihak ketiga oleh penyedia sambungan telepon seluler (handphone) untuk kepentingan bisnis, misal menawarkan kartu kredit, pinjaman lunak tanpa agunan, promosi produk barang/jasa. Hal ini jelas mengganggu kenyamanan pribadi seseorang yang sebenarnya tidak membutuhkan namun “dikejar” penawaran yang tidak dikehendaki.
Selain itu, kebocoran data pribadi pada lembaga keuangan dan perbankan seperti kasus yang terjadi pada Bank Mandiri tidak saja fatal bagi keamanan dana nasabah juga akan berdampak pada tingkat kepercayaan (trust) masyarakat untuk menitipkan dananya kepada perbankan. Perkembangan teknologi data dan informasi (digitalisasi) memang ada sisi positifnya, yaitu semakin memudahkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat dan atau konsumen/nasabah. Pelayanan optimal, aman dan nyaman ini merupakan tuntutan yang harus dipenuhi oleh pemerintah maupun perusahaan negara(BUMN) dan swasta.
Namun, disisi yang lain berpotensi merugikan masyarakat konsumen/nasabah apabila pembobolan data pribadi tersebut digunakan dalam melakukan tindakan kriminal perbankan (criminal banking) sebagaimana telah terjadi berkali-kali pada PT. Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan juga BUMN perbankan lainnya seperti Bank BNI, Bank BTN serta yang terkini adalah kredit fiktif sejumlah Rp55 miliar dilakukan oleh pejabat internalnya bekerjasama dengan oknum purnawariwan TNI. Kasus ini seolah “meruntuhkan” kepercayaan publik atas optimalisasi, efisien dan efektifnya perangkat teknologi data dan informasi melalui digitalisasi.
Maka, disinyalir kebocoran data pribadi nasabah jelas ada kaitan kerjasama dengan pihak internal atau tidak mungkin tanpa adanya kerjasama dengan pihak terkait dalam lembaga tempat kebocoran data terjadi. Kebocoran data pribadi jelas merugikan bangsa dan negara apalagi kaitannya dengan pengelolaan keuangan, baik yang terdapat pada lembaga pemerintahan maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Lalu, apa penyelesaian atau solusi yang dapat dilakukan agar kebocoran data tidak terjadi lagi? Yang pertama, tentu tindakan hukum pasal kriminal yang perlu diterapkan dan penyelidikan pada pihak internal tempat sumber data. Yang kedua, melakukan pemusatan data pribadi nasabah dalam sebuah otoritas keamanan yang menjamin tindakan preventif kebocoran data.
[***]