KedaiPena.Com – Masyarakat Betawi beserta segenap nilai-nilai budaya, adat istiadat, atau tradisi yang melekat dan terbentuk di dalam dirinya, sesungguhnya bukan terjadi dalam semalam. Perjalanannya telah mengalami tempaan proses yang panjang nun di masa-masa yang lalu.
Berawal dari masyarakat purba yang hidup di tepian sungai Ciliwung, yang secuil gambaran sederhana kehidupan mereka itu setidaknya bisa terlihat dari benda-benda arkeologis yang berhasil ditemukan.
Seperti beliung, kapak perimbas dan lain-lain. Lalu perlahan tapi pasti, dalam waktu yang panjang, masyarakat purba tepian sungai Ciliwung itu merangkak berkembang menjadi masyarakat muara sungai atau masyarakat bandar pelabuhan, yakni Pelabuhan Kalapa.
Dari kondisi yang terakhir itulah sesungguhnya benih-benih watak inklusif, reseptif, muktikukturalis, dan kosmopolit menjadi bagian penting dari entitas masyarakat yang kemudian dikenal sebagai masyarakat Betawi.
Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nasional (JARANAN), Nanang Djamaludin, menyampaikan analisisnya itu saat acara Sosialisasi Perda Provinsi DKI Jakarta No.4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi, yang diselenggarakan di anggota DPRD Komisi E Yudha Permana, di Sasana Krida Karang Taruna Meruya Utara Jakbar, belum lama ini.
“Masyarakat purba tepian sungai Ciliwung itulah sesungguhnya cikal-bakal nenek moyang asli orang Betawi,” tuturnya.
Kemudian, lanjutnya, agresi demi agresi terhadap masyarakat Bandar Kalapa itu oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya berlangsung susul-menyusul selama ratusan tahun. Kerajaan Pajajaran pernah merebutnya lalu mengganti menjadi Sunda Kalapa. Portugis pun di kota pelabuhan itu di tahun 1522 pernah membangun pos perdagangan melalui perjanjian perdagangan.
Berselang, sekitar 1526-1527 pasukan Demak dan Cirebon dibawah komando Fatahillah mampu menguasai kota pelabuhan dan merubah namanya menjadi Jayakarta.
Diceritakannya, armada dagang Belanda di tahun 1596 sandar pertama kali di Sunda Kalapa. Langah berikutnya mereka ambil, yakni membuat gudang dan benteng di sebelah timur muara sungai Ciliwung sekitar tahun 1610-1611.
Sampai pada satu kesempatan Belanda pun berhasil menundukkan Jayakarta dan memberi nama baru terhadapnya: Batavia. Benteng yang menjadi kantor pusat VOC di kawasan Asia pun didirikan.
“Seiring berlangsungnya penaklukan-penaklukan terhadap masyarakat bandar pelabuhan yang tingkat pluralitasnya pun semakin beragam dan berkembang, di ranah sosial dan budaya mereka pun berlangsung relasi-relasi antar manusia di dalamnya yang berbeda-beda etnik dan latar belakang itu. Sehingga akulturasi yang berlangsung di tengah masyarakat bandar pelabuhan itu menjadi keniscayaan,” simpul Nanang yang juga penggagas Klub Literasi Progreaif (KliP) itu.
Menurutnya, kawin-mawin yang berlangsung antar etnik yang berbeda-beda itu berkelindan dengan saling serap terhadap unsur-unsur budaya yang dianggap positif yang terdapat pada tiap-tiap etnik yang hidup di tengah masyarakat bandar itu. Proses-proses itu menjadi tulang punggung bagi pembentukan masyarakat Betawi yang inklusif, reseptif, multikultural, sekaligus kosmopolit.
Pinjam-meminjam tradsi, nilai-nilai budaya, adat istiadat di dalam proses-proses pembentukan budaya Betawi itu berlangsung sedemikian rupa lancarnya diantara kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat di dalamnya.
“Malah seringkali apa yang dipinjam itu lupa dikembalikan dan dianggap sudah menjadi miliknya secara tradisi dan budaya, Agak mirip dengan pinjam-meminjam uang yang lupa dikembalikan dan dianggap uang itu sudah menjadi milik si peminjam,” selorohnya mengibaratkan.
Ia mencontohkan pada baju pengantin Betawi yang dikenal selama ini. Dimana baju pengantin perempuan Betawi banyak meminjam pada bentuk-bentuk ornamen yang terdapat pada tradisi pengantin Cina. Dan baju pengantin lelakinya terinspirasi atau dipengaruhi busana Arab.
Nanang memungkasi, bahwa pelaksanaan Perda No.4 Tahun 2015 Tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi akan mampu mencapai tujuan-tujuan ideal sebaik-baiknya, ketika segenap para pemangku kepentingan yang terlibat mewujudkannya mampu memahami, menginternalisasikan dan mengaktualkan secara faktual karakter inklusif, reseptif, multikulturalis, dan kosmopolit, sebagaimana ditunjukkan sebelumnya oleh masyarakat Betawi di masa sebelumnya.
Laporan: Muhammad Lutfi