YUSTINUS Prastowo adalah seorang pengamat perpajakan yang baik. Tetapi ketika ia mencoba beralih profesi menjadi pengamat makro ekonomi, analisanya tampak lancung.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) lancung sendiri berarti tidak tulen, palsu, tiruan.
Untuk itu saya akan coba jawab beberapa serangannya terhadap apa yang disebut Yustinus sebagai “klaim Rizal Ramliâ€.
1. Impor Beras
Memang benar terjadi impor beras pada tahun 2000 (1,35 juta ton) dan 2001 (635 ribu ton), seperti pada data BPS. Tetapi impor tersebut bukan dilakukan oleh RR. Sebagai Kepala Bulog dan Menteri, RR tidak melakukan impor beras.
Impor beras terjadi sebelum RR masuk kabinet menjadi Kepala Bulog. Impor dilakukan oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan merangkap Kabulog Jusuf Kalla (JK), via pengusaha Aksa Mahmud, pada tahun 1999 hingga tahun 2000.
Itulah alasan kenapa JK di-reshuffle dari Kabinet Gus Dur pada tahun 2000, diganti dengan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan dan dengan RR sebagai Ketua Bulog.
Impor beras cukup besar kemudian terjadi setelah bulan Juni 2001 (setelah Gus Dur dilengserkan) hingga tahun 2004. Kebijakan ini dilakukan oleh Kepala Bulog Widjanarko, pada zaman pemerintahan Megawati.
Wijanarko akibatnya masuk penjara karena kasus korupsi saat menjabat Kabulog. Praktisi pertanian, yang juga mantan Menteri, Siswono Yudo Husodo, dalam sebuah tulisannya pada tahun 2005 (berjudul: Swasembada dan Impor Beras) memuji kebijakan era Gus Dur yang mengenakan bea masuk beras 25 persen dan impor yang berkurang drastis pada masa Gus Dur.
2. Pengelolaan Utang
Agar menambah informasi tentang rawannya pengelolaan utang Indonesia, sebaiknya perhatikan data dari Nikkei Asian Review yang dimuat minggu lalu. Dijabarkan, jumlah utang luar negeri/yang dimiliki asing (external debt) beberapa negara berkembang yang penting di Dunia.
Besaran utang luar negeri Indonesia (USD 352 miliar) menduduki peringkat ke-3 terbesar, lebih kecil dari India (USD 513 miliar) dan Turki (USD 453 miliar), tapi lebih besar dari Argentina (USD 232 miliar), Malaysia (USD 212 miliar), Thailand (USD 148 miliar), dan Filipina (USD 72 billion).
Sementara bila dihitung perbandingan antara utang luar negeri dengan cadangan devisa negara tersebut, Indonesia (2,8 kali) kembali menduduki peringkat ke-3 tertinggi, di bawah Turki (4,1 kali) dan Argentina (3,8), tapi lebih besar dari Malaysia (2 kali), India (1,2 kali), Filipina (0,9 kali), Thailand (0,7 kali).
Seperti diketahui, Malaysia belum lama ini di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Mahathir Muhamad mengumumkan kebijakan untuk mengurangi utang luar negeri negara mereka. Publik Malaysia pun menyambut luas. Ini berarti Malaysia sudah cukup khawatir dengan pengelolaan utang negaranya.
Padahal barusan kita lihat, berdasarkan data di Nikkei Asian Review, bahwa peringkat Malaysia masih di bawah lndonesia berdasarkan jumlah utang luar negeri dan rasionya terhadap devisa. Apa yang akan dilakukan Malaysia di tahun 2018 kini, sudah pernah sukses dilakukan Indonesia di saat RR menjadi menteri di tahun 2000-2001.
Saat itu pemerintah Indonesia sukses melakukan berbagai inovasi pengelolaan utang hingga sanggup mengurangi utang luar negeri hingga USD 4,15 miliar ( hal yang tidak pernah terjadi di era pemerintahan lain, sebelum atau sesudah Gus Dur).
3. Debt Service Ratio (DSR)
Kemudian tentang Debt Service Ratio (DSR). Perlu diketahui, di kalangan para ekonom di Bank Dunia dan IMF juga sudah bersepakat untuk menggunakan DSR dalam kerangka kerja mereka dalam menangangi pengelolaan beban utang di negara-negara berkembang.
Berikut ini salah satu sumbernya. Mereka, para ekonom di IMF dan Bank Dunia, menggunakan batas atas beban utang untuk DSR adalah sebesar 25% untuk negara dengan kebijakan yang kuat, DSR 20% untuk negara dengan kebijakan menegah, dan DSR 15% untuk negara dengan kebijakan lemah.
Bila indikator DSR memang belum masuk ke dalam perundangan Indonesia, seharusnya sudah mulai dipikirkan untuk dimasukkan.
Lalu saya ingin menyanggah data yang menyebutkan DSR di periode RR menjadi menteri adalah sebesar 34,22% (data darimana?).
Berdasarkan data dari Bank Dunia, DSR Indonesia pada tahun 1999: 30,2%; 2000: 22,8%; dan 2001: 23,9%. Artinya bila menggunakan standar IMF-Bank Dunia untuk DSR, masa RR menjadi menteri tahun 2000-2001 berhasil mengurangi DSR ke level di bawah ambang batas sebesar 25%.
4. Bunga Obligasi Ketinggian
Perlu diketahui, bahwa mayoritas pembayaran bunga obligasi pemerintah Indonesia dalam surat utang negara/surat berharga negara adalah dalam bentuk kupon tetap (fixed coupon) sebesar 99%, dan hanya sangat kecil merupakan pembayaran berdasarkan yield (zero coupon) sebesar kurang dari 1%.
Artinya pergerakan dari mayoritas nilai bunga yang dibayar Indonesia tidak berdasarkan pada pergerakan yield (yang bergerak ditentukan pasar). Besaran yield mencerminkan besaran kupon pada saat diterbitkan, sehingga kupon juga bisa disebut sebagai current yield.
Mayoritas bunga utang obligasi pemerintah dibayarkan dengan besaran kupon yang tetap. Dari total pokok utang obligasi pemerintah sebesar Rp 3.247 triliun (Outstanding SBN April 2018, Kemenkeu), menghasilkan bunga implisit yang harus dibayar hingga tahun 2038 adalah sebesar Rp 1.959 (atau 60% dari pokok).
Dan bunga yang dihasilkan dari surat berharga jenis fixed coupon mencapai Rp 1950 triliun. Penentuan besaran kupon dilakukan berdasarkan keputusan Menteri Keuangan pasca dilakukan lelang (sebagian dapat juga dilakukan tanpa lelang).
Kemudian tentang besaran kupon (current yield) obligasi pemerintah bila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Filipina dan Vietnam pada periode 2006-2010, masa Sri Mulyani menjadi menteri SBY. Saat itu rating (Fitch) obligasi pemerintah Indonesia (BB) sama dengan Filipina (BB), tapi lebih baik dari Vietnam (B+).
Namun anehnya kupon (current yield) obligasi Indonesia dipasang 2,8-3,3% lebih tinggi dari kedua negara. Bila selisih tersebut, nilai tengahnya, dikalikan dengan besaran total utang obligasi yang dibuat SMI pada periode 2006-2010 (Rp 428 triliun) dan masing-masing tenornya, akan muncul angka potensi kerugian negara Indonesia hampir Rp 214 triliun.
Tidak perlu memasukkan besaran inflasi agar seolah-olah selisih menjadi lebih kecil, karena besaran inflasi pasti telah diperhitungkan sebagai salah satu indikator dalam penentuan rating. Karena kalau dipaksakan masukkan inflasi, maka akan menjadi lancung.
5. Revaluasi Aset
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 191/PMK.010/2015 tentang aturan Pajak Revaluasi Aset dikeluarkan pada Oktober 2015, bulan ketiga RR di Kabinet Jokowi (RR masuk Agustus 2015).
RR mengatakan ia berkali-kali mengusulkan program revaluasi aset di rapat-rapat Kabinet dan disetujui Presiden. Bila sudah disetujui Presiden di rapat kabinet, Menkeu pun wajib menjalankan dan merumuskan peraturan.
Kemudian, pada saat pengumuman Paket Kebijakan ke-4 yang mengatur tentang pajak revaluasi pada akhir bulan Oktober 2015 juga, diberikan kesempatan kepada RR untuk berpidato menjelaskan di depan pers istana. Bukankah itu adalah bukti pengakuan dari seluruh anggota kabinet, bahwa revaluasi asset adalah ide RR?
Kemudian tentang pembelaan Yustinus pada Menteri BUMN Rini Sumarno yang ogah-ogahan melakukan revaluasi aset, juga dapat dipahami. Karena yang bersangkutan (Yustinus) saat ini adalah komisaris independen Wika Beton, salah satu anak usaha BUMN.
Oleh Gede Sandra, peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)