Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPNVJ.
Hari ini, Senin (24/2/2025), semestinya menjadi catatan sejarah bagi transformasi pengelolaan kekayaan negara. Pada pukul 10.00 di Istana Negara, Jakarta, Presiden Prabowo Subianto akan meluncurkan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau Danantara.
Presiden juga dijadwalkan turut melantik para petinggi Danantara, di antaranya, Menteri Investasi dan Hilirisasi Rosan Roeslani sebagai CEO (Chief Executive Officer), Wakil Menteri BUMN Dony Oskaria sebagai COO (Chief Operating Officer), dan Wakil Direktur Utama PT TBS Energi Utama Tbk Pandu Sjahrir sebagai CIO (Chief Investment Officer).
Namun, di tengah optimisme yang dikampanyekan pemerintah, tak dapat dipungkiri bahwa pembentukan Danantara memicu kontroversi.
Ada berbagai pertanyaan mengenai independensi dan profesionalisme para petinggi lembaga ini, serta kekuasaan besar yang diberikan kepada Danantara tanpa mekanisme check and balances yang memadai.
Independensi dan Profesionalisme Petinggi Danantara
Susunan kepemimpinan Danantara menimbulkan banyak tanda tanya, terutama terkait independensi dan profesionalisme mereka.
Dengan pengangkatan tokoh-tokoh yang memiliki latar belakang kuat dalam politik dan bisnis, ada kekhawatiran bahwa Danantara akan lebih melayani kepentingan elite tertentu daripada menjalankan mandatnya sebagai pengelola investasi nasional yang transparan dan akuntabel.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Banyak dari petinggi yang dipilih memiliki hubungan erat dengan lingkaran kekuasaan.
Hal ini bisa mengarah pada konflik kepentingan, terutama ketika keputusan investasi harus dibuat berdasarkan analisis bisnis murni, bukan pertimbangan politis.
Dalam konteks pengelolaan investasi negara, independensi adalah faktor kunci dalam memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar demi kepentingan publik, bukan hanya untuk menguntungkan kelompok tertentu.
Kekuasaan Besar dengan Minim Check and Balances
Danantara dibentuk sebagai lembaga yang berada langsung di bawah Presiden. Ini menandakan adanya kekuasaan kelembagaan yang sangat besar, namun dengan pengawasan yang minim.
Dalam aturan kelembagaan yang ada, Danantara tidak tunduk pada mekanisme akuntabilitas yang sama seperti BUMN pada umumnya. Bahkan, dalam Undang-Undang yang mengatur badan ini, disebutkan bahwa kerugian yang dialami Danantara tidak akan dianggap sebagai kerugian negara.
Implikasi dari aturan ini cukup serius. Tanpa sistem check and balances yang memadai, ada kemungkinan besar penyalahgunaan wewenang. Ini juga membuka peluang bagi Danantara untuk dijadikan alat kepentingan politik atau ekonomi tertentu tanpa adanya konsekuensi hukum yang jelas.
Tanpa keterlibatan penuh dari lembaga-lembaga pengawasan seperti DPR, BPK, atau KPK, publik akan sulit mendapatkan transparansi atas bagaimana uang negara dikelola oleh badan ini.

Danantara dan Potensi Skandal 1MDB Malaysia
Untuk memahami risiko yang dihadapi Danantara, kita bisa belajar dari skandal 1Malaysia Development Berhad (1MDB) yang mengguncang Malaysia.
1MDB didirikan oleh pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak sebagai badan investasi strategis yang bertujuan untuk mendorong pembangunan ekonomi Malaysia. Namun, dalam praktiknya, lembaga ini menjadi ajang korupsi besar-besaran, dengan miliaran dolar hilang karena disalahgunakan oleh elite politik dan kroni-kroninya.
Kesamaan antara 1MDB dan Danantara cukup mencolok. Keduanya sama-sama lembaga yang diciptakan pemerintah dengan klaim untuk mengelola investasi nasional, tetapi dengan pengawasan yang lemah dan kekuasaan yang sangat terpusat.
Skandal 1MDB menunjukkan bagaimana dominasi politik atas suatu lembaga bisa menggantikan prinsip rule of law. Di Malaysia, investigasi terhadap 1MDB baru berjalan ketika tekanan internasional meningkat, bukan karena ada mekanisme pengawasan domestik yang kuat.
Kekhawatiran yang sama berlaku untuk Danantara. Jika lembaga ini lebih dipengaruhi oleh kepentingan politik daripada regulasi yang ketat, maka skandal serupa bisa terjadi.
Dengan modal awal mencapai Rp1.000 triliun dan aset pengelolaan Rp14.670 Triliun, Danantara memiliki kapasitas keuangan yang sangat besar, yang jika tidak diawasi dengan baik, bisa menjadi bancakan bagi para elite penguasa.
Iklim Investasi yang Tidak Pasti
Pembentukan Danantara juga terjadi di tengah ketidakpastian iklim investasi global. Dengan ketegangan geopolitik yang meningkat, suku bunga yang tinggi, dan perlambatan ekonomi global, tantangan dalam mengelola investasi negara menjadi semakin kompleks.
Untuk menghadapi tantangan ini, sebuah lembaga investasi harus memiliki tata kelola yang kuat dan transparansi yang tinggi agar tetap bisa menarik kepercayaan investor domestik maupun internasional.
Namun, hingga kini, Danantara masih minim dari aspek governance yang jelas. Tidak ada jaminan bahwa kebijakan investasinya akan benar-benar didasarkan pada prinsip kehati-hatian (prudential principles) dan bukan sekadar instrumen untuk memperkaya kelompok tertentu.
Jika mekanisme pengelolaan yang diterapkan tidak jelas, maka lembaga ini berisiko mengalami kegagalan atau bahkan menjadi pusat skandal keuangan baru di Indonesia.
Waspadai Danantara Jadi Bancaan Politik
Danantara berpotensi menjadi tonggak baru dalam pengelolaan kekayaan negara, tetapi juga menyimpan risiko besar jika tidak diawasi dengan baik. Dengan kekuasaan yang sangat besar dan minimnya mekanisme check and balances, ada risiko bahwa lembaga ini akan menjadi ajang penyalahgunaan kekuasaan.
Kesamaan dengan skandal 1MDB Malaysia semakin memperkuat kekhawatiran bahwa Danantara bisa menjadi bancakan politik dan ekonomi tertentu, yang pada akhirnya bisa merugikan negara dan masyarakat luas.
Tanpa adanya transparansi, akuntabilitas, dan regulasi yang ketat, Danantara bisa menjadi bom waktu yang menunggu untuk meledak. Oleh karena itu, perlu ada upaya serius dari berbagai pihak, termasuk DPR, masyarakat sipil, dan lembaga pengawas, untuk memastikan bahwa lembaga ini benar-benar berfungsi sesuai tujuannya dan tidak menjadi instrumen penyalahgunaan kekuasaan di masa depan.
[***]