KedaiPena.com – Keputusan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) untuk memberikan refinancing utang sebesar 1,27 miliar Dollar Amerika atau sekitar Rp19,24 triliun untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Mulut Tambang (MT) Sumsel-8 bertentangan dengan tren global menuju energi bersih dan memunculkan keraguan atas komitmen bank terhadap target nol emisi Indonesia. Pasalnya, untuk mencapai nol emisi dan memenuhi komitmen Perjanjian Paris, Indonesia seharusnya menghentikan pemanfaatan batu bara.
Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukan, Indonesia perlu menyetop pembangunan PLTU baru setelah 2025 dan menghentikan operasi PLTU yang sudah ada secara bertahap hingga 2045, agar mampu mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai Perjanjian Paris. Pembiayaan Bank Mandiri ke PLTU miliki PT Huadian Bukit Asam Power (HBAP) justru berisiko bagi Indonesia.
“Kajian kami menunjukan bahwa setelah 2030, biaya pembangkitan listrik oleh PLTU di sistem PLN sebenarnya lebih mahal dari PLTS dan penyimpanan energi baterai (battery energy storage). Dengan demikian mempertahankan operasi PLTU akan berdampak pada peningkatan biaya pembangkitan listrik dan PLN kehilangan kesempatan untuk melakukan transisi energi terbarukan yang memberikan keuntungan finansial,” kata Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (5/10/2024).
Selain itu, keputusan pembiayaan tersebut juga berisiko bagi Bank Mandiri. Menurut Fabby, langkah tersebut tidak berdasarkan penilaian risiko jangka panjang dan menyebabkan risiko transisi (transition risk) yang semula ditanggung oleh China Exim Bank berpindah menjadi risiko Bank Mandiri.
Studi yang dikeluarkan oleh Climate Policy Initiative menunjukkan bahwa perbankan perlu memainkan peran lebih besar dalam membiayai transisi energi.
“Di Indonesia investasi untuk energi batu bara dan gas mencapai dua kali lipat investasi untuk energi terbarukan, dan hampir seluruhnya berasal dari lembaga keuangan swasta,” ungkap Tiza Mafira, Direktur Climate Policy Initiative.
“Sedangkan tren global justru kebalikannya, investasi energi bersih mencapai dua kali lipatnya investasi fossil fuels. Ada kekhawatiran Indonesia justru dilihat sebagai pasar yang tidak kondusif untuk investasi hijau,” imbuhnya.
Laporan Urgewald bertajuk “Still Banking on Coal” menunjukan, pada 2020-2023, Bank Mandiri menjadi salah satu bank yang memberikan pembiayaan yang besar pada sektor batu bara, mencapai 1,3 miliar Dollar Amerika. Sementara kajian Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Trend Asia mengungkapkan, Bank Mandiri telah menyalurkan pembiayaan sektor batu bara hingga Rp66 triliun pada kurun waktu yang sama. Tak hanya itu, analisa koalisi #BersihkanBankmu mencatat, pembiayaan Bank Mandiri untuk sembilan perusahaan batu bara di Indonesia pada 2016-2023 mencapai 3,485 miliar Dollar Amerika dan Rp2,493 triliun.
Dampak Lingkungan dan Kesehatan
Meskipun PLTU MT Sumsel-8 menggunakan teknologi supercritical yang dianggap dapat mengurangi polusi, para ahli lingkungan menegaskan bahwa emisi karbon yang dihasilkan tetap signifikan. Hal ini terlihat dari PLTU Cirebon-1 yang juga menggunakan teknologi yang sama.
Kajian Center for Research on Energy and Clean Air (CREA) menunjukan, polusi udara dari PLTU Cirebon-1 telah menyebabkan 441 kematian per tahun akibat penyakit pernapasan. Pemerintah dan pemangku kepentingan nasional tidak dapat lagi mengabaikan kontribusi polusi udara dari PLTU batu bara serta dampaknya terhadap populasi dan perekonomian. Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang cukup besar, dan lebih rendah emisi dan polusi.
“Bank Mandiri seharusnya mengambil kesempatan untuk menjadi pionir dan champion dalam pembiayaan proyek energi bersih yang semakin kompetitif, bukan malah memperbanyak dukungan finansial ke energi fosil, yang jelas-jelas berdampak negatif pada masyarakat,” komentar Agung Budiono, Direktur Eksekutif Indonesia Cerah.
Masyarakat sipil meminta bank untuk lebih transparan mengenai rencana transisi energinya dan menetapkan target yang jelas untuk mengurangi portofolio batu bara. Lembaga keuangan di negara berkembang memang dihadapkan pada dilema menyeimbangkan kebutuhan pembangunan jangka pendek dengan komitmen lingkungan jangka panjang. Namun, dengan semakin mendesaknya krisis iklim, tekanan untuk beralih ke energi bersih terus meningkat dan bank harus turut berkontribusi.
Laporan: Ranny Supusepa