KedaiPena.Com – Mantan aktivis 77/78 yang juga peneliti independen Abdulrachim K mengatakan, dana ‘off budgeter’ yang di gunakan oleh Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selama menjabat sebagai orang nomor 1Â Jakarta telah melanggar segala bentuk perundangan tentang keuangan negara dan daerah.
“Misalnya Peraturan Pemerintah 58 tahun 2005 Tentang Pengelolaaan Keuangan Daerah dan Undang-undang Keuangan Negara dan daerah yang lain. Karena dana ‘off budgeter’ ini karena tidak tercatat dalam APBD DKI maka juga tidak masuk dalam kas daerah,” papar dia Kepada KedaiPena.Com, Selasa (9/5).
Dana ‘off budgeter’ sendiri, kata dia, memiliki arti dana yang tidak ada dalam APBD DKI. Namun, dana tersebut ada dan digunakan untuk proyek-proyek dan program DKI. Yang mana dana tersebut tidak dicatat sebagai uang masuk dan atau uang keluar dalam APBD DKI.
Seperti dalam kesaksian di Pengadilan Tipikor DKI atas kasus suap Raperda Reklamasi Muhammad Sanusi, Ketua Komisi D DPRD DKI, pada  bulan September 2016. Ariesman Wijaya mantan Dirut PT Agung Podomoro Land mengakui bawa telah menyetor Rp1,6 triliun kepada Pemprov DKI.
“Setoran itu berupa rusunawa Daan Mogot, jalan dan lain-lain adalah merupakan bagian dari kontribusi tambahan dalam proyek reklamasi yang perdanya sendiri belum ada. Raperdanya sendiri baru dibahas di DPRD DKI,” papar dia.
Setoran PT APL sebesar Rp1,6 triliun kepada Pemprov DKI itu, lanjut dia, tentu diwajibkan oleh Ahok sebagai Gubernur DKI, yang sebenarnya tidak memiliki dasar hukum atau payung hukumnya.
“Setoran sebesar ini pun tidak tercatat dalam APBD DKI, baik dalam catatan uang masuk maupun uang keluar. Oleh karena itu, tidak terjangkau oleh audit Badan Pemeriksa Kuangan, karena kewenangan BPK hanya mengaudit APBD, dalam hal ini adalah APBD DKI,” beber dia.
“Karena itu tidak bisa diketahui apakah misalnya sebenarnya nilai setorannya hanya Rp600 miliar tetapi diakui sebagai Rp1,6 triliun dan yang Rp1 triliun masuk kantong bukannya masuk ke Pemprov DKI dan hanya Ahok yang tahu. BPK tidak tahu, DPRD tidak tahu apalagi pihak lainnya. Inilah yang disebut dana ‘off budgeter’ sangat rawan korupsi, bebas dari audit pihak manapun juga,” ungkap dia.
Kendati demikian, ungkap Abdulrachim, dana ‘off budgeter’ bukanlah sebuah permainan baru di Indonesia. Sebab, saat zaman orde baru, permainan dana ‘off budgeter’ ini pernah terjadi di salah satu BUMN yakni Bulog.
Namun, tegas dia, ketika terjadi reformasi dan DR. Rizal Ramli diangkat menjadi Kepala Bulog oleh Presiden Abdurahman Wahid. Maka praktek dana ‘off budgeter’ ini dibersihkan dan semua uang keluar masuk dicatat dalam pembukuan Bulog. Sehingga bisa dilaksanakanlah manajemen Bulog yang bersih dan menguntungkan negara.
“Tetapi di zaman Ahok menjadi Gubernur DKI dana ‘off budgeter’ ini dihidupkan lagi. Bisa dibayangkan modus yang sangat rawan korupsi ini ditiru oleh para Gubernur diseluruh Indonesia akan makin besar saja korupsi di negara. Untuk saya minta KPK harus segera bertindak karena kasusnya sangat jelas, kesaksian Ariesman Wijaya mantan Dirut APL juga di depan Pengadilan Tipikor dan dibawah sumpah,” pungkas dia.
Laporan: Muhammad Hafidh