KedaiPena.Com – Dalam empat tahun terakhir, praktek korupsi secara massif tidak lagi terpusat di wilayah perkotaan. Namun mulai muncul gejala yang sangat mengkhawatirkan yaitu desentralisasi korupsi hingga menyebar ke wilayah terkecil yaitu pedesaan.
Terjadinya penyebaran korupsi hingga ke desa ini tidak bisa dilepaskan akibat adanya kebijakan dana desa yang dikucurkan oleh pemerintah sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (UU Desa).
Pasal 72 UU Desa menyebutkan bahwa desa mendapat pelimpahan dana dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) yang kemudian disebut sebagai Dana Desa. Selain itu desa juga mendapatkan Alokasi Dana Desa (ADD) yang bersumber dari Dana Perimbangan yang diterima Kabupaten/Kota.
“Dua sumber ini keuangan ini akan menjadi Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) yang wajib dikelola Pemerintah Desa secara partisipatif, transparan, dan akuntabel,” kata Liska Fauziah, peneliti ICW dalam keterangan yang diterima redaksi, ditulis Kamis (8/10/2018).
Proses pencairan dana yang disebar ke 74.954 desa di seluruh wilayah Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2015 lalu. Setiap tahun dana desa mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Pada tahun 2015, besaran dana desa yang berasal dari APBN mencapai Rp 20 Triliun.
“Tahun 2016 jumlah dana desa naik menjadi Rp 46 triliun dan terakhir pada tahun 2017 dan 2018 berjumlah Rp 60 triliun. Pemerintah berencana menaikkan anggaran dana desa hingga mencapai Rp 73 triliun pada tahun 2019 mendatang,” sambungnya.
Sayangnya pengelolaan dana desa tersebut masih diwarnai praktek korupsi. Dalam pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak desa dikucurkan pada tahun 2015 lalu hingga 2017 terdapat sedikitnya 110 kasus korupsi anggaran desa dan diduga melibatkan 139 pelaku yang telah diproses oleh penegak hukum.
“Jumlah kerugian negara yang ditimbulkan mencapai sedikitnya Rp 30 miliar. Dari segi aktor korupsi, dari 139 pelaku sebanyak 107 orang adalahkepala desa, 30 orang aparatus desa dan 2 orang berstatus istri kepala desa,” lanjut dia.
Banyaknya jumlah Kepala Desa yang menjadi tersangka korupsi tentu saja menyedihkan. Padahal Pasal 26 ayat (4) UU Desa menegaskan bahwa Kepala Desa mempunyai kewajiban untuk melaksanakan prinsip tata Pemerintahan Desa yang akuntabel, transparan, profesional, efektif dan efisien, bersih, serta bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Selain hasil pemantauan ICW, data dari Kementrian Desa dan KPK pun semakin menunjukkan bagaimana maraknya penyalahgunaan dana desa. Kementrian Desa telah menerima 200 laporan pelanggaran administrasi dari 600 laporan tentang dugaan penyelewengan dana desa.
“Sebanyak 60 laporan penyelewengan dana desa telah diserahkan kepada KPK. Sedangkan data KPK menyebutkan sejak Januari-Juni 2017, KPK sudah menerima 459 laporan mengenai dugaan korupsi dana desa,” kata dia lagi.
Persoalan korupsi dana desa sebaiknya tidak dibiarkan begitu saja. Jika tidak dilakukan pembenahan maka akan muncul kecenderungan peningkatan jumlah aktor dan kerugian dari korupsi dana desa dari tahun ke tahun. Selain mendorong proses penegakan hukum terus berjalan maka salah satu langkah penting yang dapat dilakukan untuk mencegah meluasnya praktek korupsi dana desa adalah memberikan pendidikan atau sosialisasi bagi aparatur pemerintah desa (Kepala desa, sekretaris desa, dan staff kantor desa) mengenai apa itu korupsi dan bagaimana caranya agar penggunaan dana desa tidak terjadi korupsi.
“Ketidaktahuan aparatur desa mengenai jenis korupsi khususnya yang diatur dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi bisa jadi menjadi salah satu penyebab munculnya penyelewengan dana desa selama ini,” beber Liska.
Dalam rangka mencegah meluasnya korupsi dana desa maka Indonesia Corruption Watch berinisiatif membuat Sekolah Anti Korupsi (SAKTI) yang dikhususkan untuk aparat pemerintah desa yang terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa yang disingkat dengan SAKTI Aparatur Pemerintah Desa.
Pada tahun 2018, kegiatan SAKTI Aparatur Pemerintah Desa akan dilaksanakan di Larantuka Kabupaten Flores Timur Nusa Tenggara Timur pada tanggal 6-9 November 2018. Kegiatan akan diikuti oleh 30 orang Kepala Desa dan Sekretaris Desa yang berada di wilayah Kabupaten Flores Timur.
“Pada tahun 2018, SAKTI mengambil tema “Desa Antikorupsi, Desa Sejahtera”. SAKTI Aparatur Pemerintah Desa 2018 bertujuan mencetak aparatur pemerintah desa yang anti korupsi khususnya untuk mengawal dan mencegah korupsi dana desa,” urai dia.
Provinsi NTT dipilih sebagai tempat penyelenggaraan SAKTI 2018 karena menurut data Bappenas pada Maret 2018, provinsi ini menempati peringkat ketiga (setelah Papua dan Papua Barat) yang memiliki persentase tinggi untuk jumlah penduduk miskin atau desa tertinggal di wilayah pedesaan.
Disebut desa tertinggal karena kurang berkembang dalam aspek ekonomi, sumber daya manusia, infrastuktur, dan aksesibilitas.
Sedangkan wilayah Kabupaten Flores Timur Larantuka NTT dipilih karena ICW melihat adanya keinginan kuat dari masyarakat sipil dan pihak gereja Katholik khususnya Keuskupan Larantuka dalam mendorong pemberdayaan masyarakat pedesaan termasuk mencegah korupsi dana dasa agar desa menjadi lebih sejahtera.
ICW melihat SAKTI Aparatur Pemerintah Desa dapat menjadi pintu masuk bagi terwujudnya desa yang sejahtera dan bebas dari korupsi. Untuk kegiatan SAKTI 2018, ICW bekerja sama dengan Yayasan Pembangunan Sosial Ekonomi Larantuka (Yaspensel) Keuskupan Larantuka NTT.
“SAKTI Aparatur Pemerintah Desa yang dilaksanakan di Larantuka Flores Timur NTT merupakan program uji coba mengawal dana desa yang diharapkan dapat kembali pada periode mendatang baik dalam skala daerah maupun nasional,” tandas dia.
Laporan: Ranny Supusepa