KedaiPena.com – Menanggapi rencana pemerintah untuk memberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada barang-barang mewah, Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyatakan jika ditelaah lebih dalam, dampak kebijakan tersebut tidak lah sesederhana itu.
Ia menyatakan peningkatan tarif PPN untuk barang mewah, meskipun secara langsung menyasar kelompok ekonomi atas, juga akan memberikan dampak yang merambat ke kelompok masyarakat menengah dan kecil.
“Pemerintah sering menggunakan istilah “barang mewah” tanpa mendefinisikan secara jelas apa saja yang termasuk dalam kategori ini,” kata Mat Nur, demikian ia akrab dikenal, Minggu (8/12/2024).
Dalam konteks pajak, barang mewah biasanya mencakup produk seperti kendaraan bermotor premium, perhiasan, barang elektronik mahal, dan properti dengan nilai tertentu. Namun, lanjutnya, batasan nilai barang yang dianggap mewah sering kali tidak sesuai dengan daya beli masyarakat pada tingkat menengah ke bawah.
Sebagai contoh, dalam situasi inflasi atau kenaikan harga barang, produk yang sebelumnya dianggap sebagai kebutuhan sekunder dapat dengan mudah masuk ke kategori barang mewah. Misalnya, beberapa barang elektronik seperti ponsel kelas menengah atas yang sering digunakan untuk bekerja atau pendidikan kini bisa dikenakan pajak yang lebih tinggi.
“Hal ini menunjukkan bahwa definisi barang mewah cenderung kabur dan dapat bergeser seiring waktu, yang pada akhirnya menyulitkan masyarakat menengah ke bawah,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan salah satu efek yang sering diabaikan dari kebijakan seperti ini adalah dampak tidak langsung terhadap barang dan jasa lain yang terkait dengan barang mewah tersebut. Sebagai contoh, peningkatan PPN untuk kendaraan bermotor mewah dapat memengaruhi industri pendukung seperti layanan perbaikan, asuransi, hingga suku cadang.
“Jika produsen dan penyedia jasa di sektor ini menaikkan harga untuk menyesuaikan dengan kenaikan tarif pajak, maka masyarakat menengah yang menggunakan produk atau layanan tersebut juga akan terdampak,” ungkapnya lagi.
Hal serupa terjadi pada sektor properti. Properti dengan harga tertentu yang masuk dalam kategori barang mewah akan dikenakan tarif pajak yang lebih tinggi, dan ini dapat berdampak pada harga sewa, biaya perawatan, atau bahkan biaya bahan bangunan. Akhirnya, biaya tambahan tersebut akan dibebankan kepada konsumen akhir, termasuk kelompok masyarakat menengah dan kecil.
Mat Nur menyatakan meskipun tarif PPN yang lebih tinggi secara teori ditujukan untuk barang-barang yang dianggap tidak esensial, dalam praktiknya, dampak tersebut merambat ke hampir semua lapisan masyarakat.
“Kenaikan harga barang mewah dapat memicu kenaikan harga barang lain di pasar. Hal ini terutama terlihat pada sektor yang memiliki rantai pasok panjang, seperti industri makanan, konstruksi, dan transportasi. Sebagai contoh, barang elektronik yang dianggap mewah seperti laptop atau ponsel pintar kini menjadi kebutuhan penting, terutama bagi masyarakat kelas menengah yang menggunakannya untuk bekerja atau belajar,” ujarnya.
Jika harga barang-barang ini naik akibat pajak, maka kelompok masyarakat menengah ke bawah akan kesulitan untuk mengakses teknologi yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, kebijakan ini justru memperlebar kesenjangan digital dan ekonomi.
Kebijakan PPN yang tinggi untuk barang mewah sebenarnya menciptakan risiko bagi kelompok menengah yang sedang berusaha meningkatkan taraf hidupnya. Kelompok menengah sering kali menjadi tulang punggung ekonomi nasional, tetapi mereka juga paling rentan terhadap kebijakan fiskal yang kurang memperhatikan dampak lanjutan.
“Ketika harga barang yang dulunya terjangkau oleh mereka menjadi lebih mahal, daya beli kelompok ini akan melemah. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menghambat mobilitas sosial dan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya lagi.
Selain itu, kelompok menengah sering kali menggunakan jasa atau produk yang berhubungan dengan barang mewah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, mereka mungkin menyewa kendaraan premium untuk acara tertentu, membeli barang elektronik berkualitas tinggi untuk pekerjaan, atau menggunakan layanan hotel yang dikenakan tarif lebih tinggi karena dianggap sebagai barang mewah.
“Dengan kenaikan tarif pajak, pengeluaran mereka untuk kebutuhan ini akan meningkat, mengurangi kapasitas mereka untuk menabung atau berinvestasi,” kata Mat Nur dengan nada tegas.
Dampak kebijakan ini juga dirasakan oleh kelompok ekonomi kecil melalui mekanisme ekonomi yang disebut “spillover effect”.
Ketika barang-barang yang terkait dengan barang mewah mengalami kenaikan harga, biaya hidup secara keseluruhan juga meningkat. Misalnya, kenaikan tarif PPN pada kendaraan bermotor mewah dapat memengaruhi biaya logistik dan transportasi barang kebutuhan pokok. Akhirnya, konsumen dari semua lapisan ekonomi harus membayar harga yang lebih tinggi untuk barang kebutuhan sehari-hari.
“Kelompok kecil juga sering kali bekerja di sektor-sektor yang mendukung konsumsi barang mewah. Ketika permintaan barang mewah menurun akibat kenaikan pajak, pekerjaan mereka pun ikut terdampak. Contohnya, pekerja di industri perhotelan, catering untuk acara-acara besar, atau bahkan pedagang kecil yang berjualan di sekitar kawasan mewah bisa kehilangan pendapatan jika konsumsi di sektor ini menurun,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa