Artikel ini ditulis oleh Agusto Sulistio, Pegiat Media Sosial.
Saat dulu masih di bangku Sekolah Dasar atau Taman kanak-kanak, Guru kita menyuguhkan gambar peta dan “Globe” atau Bola Dunia. Lalu kemudian sambil melihat pulau-pulau kecil di antara laut samudra yang ditandai oleh warna biru di atas bola dunia yang kita putar perlahan dengan rasa penasaran melihat garis-garis melintas diantara hamparan pulau dan benua dengan warna yang berbeda.
Sekilas unuk mengingatkan masa kecil kita dulu saat pertama melihat gambar peta. Mungkin saat itu ada yang terobsesi dengan gambar peta itu, lalu menghabiskan waktu untuk belajar dan menggambar peta harta karun, memetakan tanah imajiner dan merencanakan rute ke tempat-tempat jauh yang ingin dikunjungi.
Warna dalam petak peta diartikan suatu wilayah negara yang dipisahkan dari tetangganya dengan garis rapi, lalu perbatasan digambarkan dengan jelas, goresan garis telah memisahkan kebangsaan yang ditakdirkan untuk nasib yang berbeda. Tanda garis pada peta menandai kemungkinan terjadinya eksplorasi dan petualangan, untuk mengunjungi budaya asing dengan aneka makanan dan bahasa yang berbeda. Namun sebagian mengartikan garis perbatasan adalah tembok penjara yang membatasi semua kemungkinan.
Garis perbatasan dalam peta menentukan nasib, harapan dan identitas kita, di sisi lain perbatasan bisa ditafsirkan sebagai penemuan wilayah saat pertama manusia mengunjunginya. Kemudian peta itu dipertegas oleh tanda pembatas suatu bangsa negara yang permanen secara aspek lanskap tidak dapat diubah, bukan bagian alami dari planet kita yang ditemukan baru-baru ini.
Keberadaan tanda perbatasan itu bisa diperdebatkan, bahwa sebagian besar garis imajiner ini tidak cocok lagi untuk dunia abad ke-21 dengan populasinya yang melonjak, perubahan iklim yang dramatis, dan kelangkaan sumber daya. Kemungkinan terjadinya perluasan wilayah demi kehidupan suatu bangsa secara atau diplomasi, bahkan ekspansi.
Dahulu, untuk mencegah penyalahgunaan perbatasan oleh orang asing, maka negara memilih cara melarang warganya tidak pergi ke perbatasan lain, ketimbang mencegah kedatangan negara lain. Sebab itu dapat memunculkan persoalan yang lebih rumit seperti soal pajak, imigrasi, dan lain-lain yang akan memusingkan banyak negara.
Namun di balik itu semua ada batas-batas sejati yang ditetapkan bukan oleh politik atau penguasa turun-temurun, tetapi oleh sifat fisik planet kita. Perbatasan planet untuk spesies kita ditentukan oleh geografi dan iklim. Lebih spesifik terjadi oleh proses alamiah, bahwa secara fisik manusia ditakdirkan tak bisa hidup dalam jumlah besar di Gurun Sahara maupun Kutub Antartika. Saat suhu global meningkat akan terjadi perubahan iklim, yang menyebabkan kenaikan permukaan laut, dan cuaca ekstrem selama beberapa dekade mendatang. Sehingga dunia nantinya akan sulit dijadikan tempat tinggal bagi manusia.
Menurut analisa para pakar iklim dunia, garis pantai, negara pulau, dan kota-kota besar di daerah tropis akan menjadi yang paling terdampak, dan jika tak dapat beradaptasi dengan kondisi yang semakin ekstrim, maka jutaan bahkan miliaran orang harus pindah ke lokasi yang aman.
Berbagai sumber menyampaikan terkait jumlah penduduk, dikatakan bahwa daerah yang padat penduduknya terkonsentrasi di sekitar paralel utara 25-26, garis lintang dengan iklim paling nyaman dan tanah subur. Diperkirakan 279 juta orang memadati daratan ini, yaitu India, Pakistan, Bangladesh, China, Amerika Serikat, dan Meksiko. Akibat terjadi perubahan kondisi maka rata-rata relung iklim di mana spesies bisa hidup normal di seluruh dunia bergerak ke arah kutub dengan kecepatan 1,15 m per hari, meskipun jauh lebih cepat di beberapa tempat.
Hal itu dapat diartikan bahwa beradaptasi dengan perubahan iklim berarti mengejar ceruk iklim kita sendiri (kisaran suhu 11C hingga 15C) yang berpindah ke utara khatulistiwa. Sedangkan batas kelayakan huni adalah perbatasan sesungguhnya yang harus kita khawatirkan saat dunia menghangat selama abad ini, membawa panas yang tak tertahankan, kekeringan, banjir sebabkan mencairnya salju di antartika, kebakaran, badai, dan erosi pantai yang membuat pertanian menjadi tidak mungkin, yang menyebabkan orang akan tergusur.
Akibat itu maka jumlah orang yang terpaksa meninggalkan rumahnya, data PBB menyebutkan bahwa setiap tahunnya terjadi peningkatan, sebagai contoh ditahun 2021, sekitar 89,3 juta orang tergusur akibat terjadinya perubahan iklim, dan jumlah ini lebih banyak dibanding orang tergusur akibat konflik. Kemudian sekitar 33 juta orang di Pakistan terpaksa mengungsi tahun ini, sementara jutaan lainnya di Afrika terkena dampak kekeringan dan ancaman kelaparan hingga batas pantai barat benua itu.
Karena itulah tantangan terberat Indonesia kedepan tidak saja pada soal ekonomi, dan demokratisasi, namun persoalan perubahan iklim global yang terjadi secara alamiah. Sehingga untuk penanganannya diperlukan langkah-langkah khusus, strategis dan tepat oleh para ilmuwan iklim, tanpa mencampurinya dengan urusan politik.
Beberapa waktu lalu Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi Filippo Grandi mengimbau para pemimpin global pada konferensi perubahan iklim COP27 untuk mengambil tindakan berani demi mengatasi konsekuensi kemanusiaan dari pemanasan global. Karenanya UNHCR mengatakan diperlukan transformasional dan kita tidak bisa meninggalkan jutaan pengungsi dan tuan rumah mereka sendirian, akibat konsekuensi terjadinya perubahan iklim. Menurut para pakar iklim, jika hal itu dibiarkan maka ratusan juta orang berisiko terusir dari rumah mereka pada tahun 2050.
Akibat proses alami dari perubahan iklim global maka akan terdapat banyak orang yang berpindah, apakah ini berarti perbatasan politik yang dibuat-buat, yang seolah-olah dipaksakan untuk keamanan nasional, menjadi semakin tidak berarti Sehingga ancaman yang ditimbulkan dari perubahan iklim, dampak sosialnya akan lebih parah dibandingkan dengan ancaman yang timbul dari keamanan nasional. Secara fakta, data menunjukkan bahwa jumlah korban tewas akibat perubahan iklim yang sebabkan munculnya gelombang panas, jauh lebih tinggi dari dampak akibat yang disebabkan langsung perang.
Selain itu, populasi global masih terus bertambah, terutama di beberapa wilayah yang paling parah terkena dampak perubahan iklim dan kemiskinan. Populasi di Afrika diperkirakan meningkat hampir tiga kali lipat pada tahun 2100, bahkan saat pertumbuhan di tempat lain melambat.
Ini berarti akan ada lebih banyak orang di daerah yang kemungkinan paling parah terkena dampak panas ekstrem, kekeringan, dan badai dahsyat. Lebih banyak orang juga akan membutuhkan makanan, air, listrik, perumahan, dan sumber daya, karena ketersediaannya akan semakin sulit dan langka.
Yang utama diperlukan saat ini adalah harus segera menyelesaikan persoalan dan tantangan lingkungan, perubahan iklim dan sosial yang nyata di depan kita, yang mana belum pernah terjadi sebelumnya. Apakah kita akan menerapkan hal yang disampaikan para pakar, yakni menghapus perbatasan atau membuat ruang gerak manusia antar lintas bangsa negara secara mudah dan fleksibel, khususnya terhadap aliran tenaga kerja, berpotensi meningkatkan ketahanan umat manusia terhadap tekanan dan guncangan perubahan iklim global.
Jika itu solusinya, maka kita bisa menganggap planet ini dapat diibaratkan sebagai persemakmuran global umat manusia, di mana orang bebas bergerak ke mana pun mereka mau. Dengan demikian, kedepan kita memerlukan mekanisme baru untuk mengelola mobilitas tenaga kerja global agar lebih efektif dan efisien.
[***]