Artikel ini ditulis oleh Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta.
Pengesahan revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) pada 20 Maret 2025 memicu beragam respons publik.
Di balik perubahan struktural terkait jabatan sipil, batas usia pensiun, dan perluasan tugas TNI, muncul pertanyaan: bagaimana implikasi kebijakan ini terhadap perekonomian, iklim investasi, dan kesehatan fiskal APBN?
Pertanyaan ini relevan, mengingat TNI tidak hanya berperan sebagai garda pertahanan, tetapi kini juga terlibat lebih dalam dalam ranah sipil dan kebijakan strategis negara.
Militer di BUMN: Ancaman atau Peluang bagi Investor?
Salah satu poin krusial revisi UU TNI adalah pembukaan ruang bagi perwira aktif untuk menduduki jabatan di 14 kementerian/lembaga sipil, termasuk bidang siber, intelijen, penanggulangan terorisme, dan keamanan laut.
Meski secara eksplisit tidak mencantumkan BUMN (Badan Usaha Milik Negara), perluasan peran ini berpotensi memengaruhi sektor strategis yang dikelola BUMN, seperti energi, logistik, dan telekomunikasi.
Investor luar maupun domestik mungkin mempertanyakan dua hal: pertama, sejauh mana intervensi militer akan mengubah tata kelola BUMN; kedua, apakah keberadaan TNI dalam lembaga sipil akan menciptakan ketidakpastian regulasi atau risiko geopolitik.
Di satu sisi, keterlibatan TNI dalam lembaga seperti Badan Siber dan Sandi Negara atau Dewan Pertahanan Nasional bisa memperkuat keamanan infrastruktur kritis, yang merupakan aset vital bagi investor. Contohnya, perlindungan terhadap serangan siber di sektor perbankan atau energi bisa meningkatkan kepercayaan pasar.
Namun, di sisi lain, dominasi militer dalam lembaga sipil berisiko memicu sentimen “kekerasan” yang dikhawatirkan mengaburkan prinsip transparansi dan kompetisi usaha. Investor mungkin ragu jika kebijakan BUMN dianggap terlalu bias pada agenda keamanan, alih-alih efisiensi bisnis.
Pengalaman negara lain, seperti Mesir atau Myanmar, menunjukkan bahwa dominasi militer dalam ekonomi seringkali menciptakan monopoli dan mengurangi daya saing.
Jika TNI aktif terlibat dalam pengambilan keputusan di lembaga seperti Kementerian BUMN atau lembaga pengelola perbatasan, investor akan memantau apakah praktik ini membuka celah korupsi atau konflik kepentingan.
Kejelasan aturan tentang batasan peran TNI di sektor sipil menjadi kunci untuk mempertahankan kepercayaan investor.
Perpanjangan Usia Pensiun TNI: Beban atau Penghematan bagi APBN?
Revisi Pasal 53 tentang batas usia pensiun TNI menjadi sorotan lain. Jika sebelumnya perwira tinggi maksimal pensiun di usia 58 tahun, kini pangkat bintang 4 bisa mencapai 63 tahun dengan opsi perpanjangan 2 tahun. Sementara bintara dan tamtama naik dari 53 menjadi 55 tahun.

Kebijakan ini memiliki dua sisi: pertama, memperpanjang masa dinas bisa mempertahankan SDM berpengalaman di tengah ancaman kompleks seperti siber dan terorisme; kedua, menunda pensiun berimplikasi pada struktur pengeluaran APBN.
Secara fiskal, menunda usia pensiun mengurangi beban dana pensiun jangka pendek, karena pemerintah tidak perlu langsung membayar tunjangan pensiun untuk prajurit yang diperpanjang masa dinasnya. Namun, dalam jangka panjang, kebijakan ini justru berpotensi menambah beban jika jumlah penerima pensiun yang lebih tua meningkat secara signifikan. Apalagi, tunjangan pensiun TNI biasanya lebih tinggi dibanding PNS sipil karena faktor risiko pekerjaan.
Di sisi lain, perpanjangan usia pensiun juga berarti pemerintah harus mengalokasikan anggaran tambahan untuk gaji dan tunjangan prajurit senior. Jika kenaikan belanja ini tidak diimbangi dengan optimalisasi peran TNI dalam mendukung produktivitas nasional — misalnya melalui peningkatan kapasitas pertahanan siber atau penanggulangan bencana — maka kebijakan ini bisa menjadi trade-off yang kurang menguntungkan bagi APBN.
Terlebih, di tengah tekanan defisit anggaran pascapandemi, setiap perubahan kebijakan yang berdampak pada belanja negara perlu dikalkulasi secara hati-hati.
Ekspansi Tugas TNI: Implikasi terhadap Prioritas Anggaran dan Ekonomi
Penambahan tugas TNI dalam penanggulangan siber, bencana, dan perlindungan WNI di luar negeri (Pasal 7 Ayat 15-16) turut memengaruhi alokasi anggaran. Operasi siber, misalnya, membutuhkan investasi besar di teknologi dan pelatihan SDM. Jika anggaran pertahanan tidak cukup fleksibel, penambahan tugas ini bisa menggeser pos-pos lain yang vital bagi pemulihan ekonomi, seperti infrastruktur atau subsidi energi.
Namun, tugas baru ini juga bisa dilihat sebagai peluang. Keamanan siber yang kuat adalah prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi digital. Menurut laporan McKinsey (2024), Indonesia berpotensi menambah 5% PDB dari ekonomi digital jika risiko siber bisa diminimalkan. Dengan demikian, alokasi anggaran untuk modernisasi TNI — jika dikelola transparan — justru dapat menjadi katalis bagi sektor ekonomi berbasis teknologi.
Mencari Titik Temu: Keamanan vs Pertumbuhan Ekonomi
Revisi UU TNI tidak bisa dilihat sebagai kebijakan yang terisolasi. Ia adalah bagian dari upaya negara merespons tantangan keamanan kontemporer, seperti ancaman siber, bencana iklim, dan konflik geopolitik.
Namun, integrasi militer dalam ranah sipil dan kebijakan fiskal yang menyertainya harus dibarengi dengan mekanisme checks and balances.
Pertama, pemerintah perlu memastikan bahwa keterlibatan TNI dalam lembaga sipil tidak mengganggu prinsip tata kelola yang sehat, terutama di sektor strategis seperti BUMN.
Kedua, perpanjangan usia pensiun harus disertai evaluasi berkala untuk memastikan bahwa biaya yang timbul sepadan dengan kontribusi prajurit senior.
Terakhir, ekspansi tugas TNI harus diikuti dengan peningkatan akuntabilitas anggaran untuk menghindari inefisiensi.
Pada akhirnya, keberhasilan revisi UU TNI dalam mendukung ekonomi nasional bergantung pada implementasi yang bijak. Meski demikian revisi UU TNI tersebut tidak diikuti partisipasi publik yang baik, besar kemungkinan UU TNI Baru ini akan dianulir oleh MK ketika masyarakat sipil merasa tidak dilibatkan dalam diskursus perubahannya.
Jika pemerintah mampu menyeimbangkan antara kepentingan keamanan dan dinamika ekonomi, kebijakan ini bisa menjadi fondasi menuju ketahanan nasional yang inklusif.
Namun, jika tidak dikawal dengan transparansi, risiko politisasi militer dan beban fiskal yang membengkak justru akan menjadi tantangan baru bagi Indonesia di masa depan.
[***]