PARA Yanda-Bunda, Bapak-Ibu, Abi-Umi, Papa-Mama, Papi-Mami, Pipi-Mimi, dan Abah-Emak penyayang buah hati tercinta!
Semoga Tuhan senantiasa mencurahkan kebercukupan  rejeki dan ilmu untuk kita semua dalam proses mengasuh dan mendidik anak-anak kita tercinta. Amiiin.
Selama ini ada semacam pola umum yang diterapkan secara meluas oleh banyak orangtua terhadap anak-anaknya. Yakni, ketika orangtua menghadapi situasi pertengkaran anak-anaknya, antara kakak dan adik, banyak orangtua yang cenderung  menyuruh anak yang lebih tua untuk mengalah kepada adiknya.
Biasanya permintaan kepada si kakak untuk mengalah itu diiringi bahasa tubuh orangtua yang condong membela si adik. Entah dengan menepis tubuh si kakak sambil memeluk si adik, maupun tindakan lain yang membuat si kakak tersudut.
“Sudah deh kak, kamu ngalah dong sama adik kamu. Adikmu kan masih kecil. Pusiiiing deh mamah mendengar kamu ribut terus dengan adikmu!”
Padahal boleh jadi  orangtua tidak tahu pemicu awal pertengkaran itu terjadi. Dan langsung berkomentar tanpa berusaha menanyakan lebih dahulu kepada keduanya.
Bisa saja sebenarnya justru si kakak-lah korban provokasi atau agresi dari si adik, yang kemudian direspon secara emosional dengan perbuatan tertentu dari si kakak terhadap adiknya. Sehingga terjadilah pertengkaran itu, yang lalu terhenti karena dilerai orangtua.
Namun peleraian itu sebenarnya mengandung muatan penilaian, perlakuan dan sikap orangtua yang tidak/kurang adil.
Jika ternyata sang “provokator” dan “agresor” itu  sebenarnya si adik, dan kecenderungan pembelaan orangtua itu terus berlangsung, dari satu pertengkaran ke pertengkaran berikutnya, maka disadari atau tidak, sesungguhnya orangtua sedang terlibat dalam proses penciptaan dua hal sekaligus.
Pertama, si adik menikmati keistimewaan yang lebih, dan merasa tak akan pernah disalahkan oleh orangtua yang selalu membelanya, meski sebenarnya dirinyalah pemicu awal  pertengkaran dengan sang kakak.
Seiring waktu, ketika penilaian berat sebelah itu terus terjadi di banyak momen, si adik pun akan amat potensial  berkembang menjadi anak manja, yang akan memanfaatkan kecenderungan orangtua yang selalu membelanya tanpa ia punya perspektif pemahaman yang benar bahwa ia sesungguhnya bersalah.
Sesungguhnya perlakuan tidak/kurang adil terhadap sang kakak itulah awal pembentukan sang  “troublemaker” cilik di rumah pada diri si adik. Dan dikhawatirkan pada perkembangannya nanti malah orangtua lah yang akan sering mengurut dada  atas potensi perkembangan beragam perangai buruk yang tak diharapkan pada diri si adik.
Kedua, si kakak yang lambat laun terus-menerus diperlakukan tidak adil oleh orangtua, bisa saja memendam kecewa. Dan di lain kesempatan, kecewaaan itu bisa ia tumpahkan lewat beragam sikap. Seperti membantah orangtua, bahkan justru malah berubah menjadi agresor terhadap si adik, yang tentu saja dapat memicu pertengkaran yang lebih sering lagi.
Untuk itu bagi para orangtua, begitu tahu anak-anaknya mulai bertengkar, segera rangkullah mereka, peluklah mereka, dan berlakulah bijak dengan mengedepankan prinsip keadilan perlakuan terhadap keduanya.
Dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, tanyalah satu-persatu kepada mereka penyebab pertengkaran itu. Dan lakukan penilaian yang adil terhadap keduanya.
Jika ternyata agresor awal adalah si adik, maka tatap lembut matanya dan katakan, bahwa tindakannya itu bukan tindakan terpuji dan bisa membuat siapapun akan marah. Tatap pula dengan penuh cinta mata si kakak. Lalu katakan di hadapan mereka:
“Mulai saat ini dan seterusnya secara permanen, adik harus mampu bersikap lebih baik dan terpuji terhadap kakak, agar kakak pun bisa jauh lebih sayang lagi kepada adik. Kini adik harus bersalaman dan minta maaf pada kakak. Dan berjanji tak mengulangi lagi menjadi pemicu awal pertengkaran serta bersedia rukun terhadap kakak. Sementara kakak pun harus janji untuk ikhlas memaafkan adik  dan selalu rukun bersama adik. Mari kita semua saling berpelukan, wahai anak-anakku yang hebat-hebat!”
Begitu pun jika ternyata si kakaklah yang menjadi agresor awalnya. Maka penilaian yang adil penuh cinta dari orangtua, diikuti penyelesaian pertengkaran yang mengarahkan keduanya pada kemampuan untuk selalu rukun dan saling menyayangi, meski ditekankan kepada keduanya.
Salam Anak Nusantara
Oleh: Nanang Djamaludin, Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN), Konsultan Parenting dan Kota Layak Anak