KedaiPena.Com – Keseriusan Indonesia dalam upaya mengambil peran dalam ‘nett zero emissions‘ dinilai lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik. Sehingga upaya untuk mengambil langkah penting, terkesan terlambat.
Ahli Energi Bersih, Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyatakan bahwa Indonesia terlihat tidak serius dalam mengambil bagian pencegahan meningkatnya iklim dunia.
“Long term strategies (LTS) yang disampaikan KLHK, yang menargetkan zero emission pada 2070 itu tidak merefleksikan tanggung jawab kita dan krisis perubahan iklim. Lebih pada mempertimbangkan kepentingan politik,” kata Fabby dalam Thamrin School Summit, yang digelar secara online, Rabu (21/4/2021).
Ia menyatakan, berdasarkan dialog antara pegiat iklim, Indonesia saat ini menghadapi bencana hidrometeorologis yang terus meningkat dalam 10 tahun terakhir.
“Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia menghadapi dampak dari perubahan iklim tersebut. Dan ada korban yang terdampak langsung di banyak daerah Indonesia. Oleh karena itu, harusnya menjadi sinyal bagi pemerintah bahwa Indonesia mengalami dampak perubahan iklim,” ujarnya.
Untuk mencegah semakin meningkatnya dampak perubahan iklim ini, Fabby menyatakan hanya ada satu cara yaitu adaptasi dan menurunkan emisi gas rumah kaca secepat mungkin.
“Ini tidak terlihat dalam LTS yang dikeluarkan KLHK. Terlalu terlambat. Kita harus membuat cara-cara yang tidak biasa untuk mencapai nett zero emission. Salah satunya, jangan lagi menempatkan energi kita itu 90 persen pada energi fosil,” ujarnya lebih lanjut.
Kajian menunjukkan, untuk mencapai target dua derajat saja, dibutuhkan dua pertiga energi fosil di seluruh dunia tidak boleh dipergunakan paling tidak untuk 30 tahun ke depan.
“Kita harus mengubah sistem energi fosil ke energi terbarukan. Kalau tetap pakai batubara hanya karena kita memiliki sumber dayanya, maka ini akan bertentangan dengan apa yang disampaikan oleh sains,” ucap Fabby.
Sektor energi ini penting karena merupakan kontributor dari emisi gas rumah kaca, yang terus meningkat sesuai perkembangan kebutuhan dan kualitas hidup manusia.
“Perubahan sistem energi ini harus dilakukan dengan usaha lebih. Caranya, penetrasi energi terbarukan harus ditingkatkan dan setelah 2025 tidak boleh lagi ada pembangunan PLTU baru. Setelah 2029, PLTU yang masih beroperasi harus mulai di-‘face-out’ dan terus dilakukan bertahap hingga 2050,” urainya.
Secara teknis dan ekonomi, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia ini menyatakan hal ini bisa dilakukan. Tapi terhambat oleh kepentingan politik.
“Indonesia masih mengandalkan sumber daya batubara sebagai sumber pendapatan negara. Ya harus rela, kalau ingin mencapai dua derajat itu. Tentunya butuh keputusan politis untuk meninggalkan fosil menuju energi terbarukan. Salah satunya adalah energi surya, yang bisa diterapkan secara mudah dan harganya semakin kompetitif,” kata Fabby tegas.
Fabby menyatakan untuk mengatasi perubahan iklim itu adalah dengan mengambil langkah dan melakukan aksi, mulai dari diri sendiri.
“Seluruh dunia sedang dalam realisasi bahwa tidak ada yang bisa menunda perubahan iklim. Dan COP 26 merupakan titik penting kesepakatan target iklim yang ambisius. Harus dilihat bahwa krisis iklim adalah suatu krisis yang penting ditindaklanjuti seperti halnya krisis pandemi Covid-19 yang melanda dunia saat ini,” ungkapnya.
Perubahan pemimpinan di Amerika Serikat yang mendorong kebijakan ambisius oleh Biden dan kerja sama dengan Cina harusnya bisa menular ke seluruh negara G20.
“Jangan hanya dibicarakan tapi harus diletakan dalam ‘crisis mode‘. Dalam artian harus ada aksi,” pungkasnya.
Laporan: Natasha