KedaiPena.Com – Partai Gerindra menolak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) Perkelapasawitan yang sedang dibahas Badan Legislasi DPR untuk disahkan.
“Karena tidak sesuai dengan prinsip pelestarian hutan, perlindungan lingkungan hidup, dan kesejahteraan rakyat,” ujar Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Djojohadikusumo melalui siaran pers yang diterima kedaipena.com di Jakarta, Rabu (7/6).
Pengusaha ini lantas merinci dampak buruk dan permasalahan yang ada di dalam RUU tersebut. Pertama, lebih menggiurkan bagi korporasi dibanding petani sebagaimana yang tercermin dalam Pasal 18.
Kedua, bunyi Pasal 23 cenderung memberi celah bagi perusahaan-perusahaan untuk beroperasi di areal gambut.
Ketiga, hal tersebut bertentangan dengan upaya melindungi ekosistem gambut sesuai amanat PP No. 57/2016 tentang Perubahan PP No. 71/2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
“PP Perlindungan gambut menyatakan, bahwa setiap orang dilarang membuka lahan baru sampai ditetapkannya zonasi fungsi lindung dan fungsi budidaya pada areal ekosistem gambut untuk tanaman tertentu,” bebernya.
“RUU Perkelapasawitan hanya akan membuat target pemerintah memulihkan 2,4 juta ha lahan gambut menjadi sulit tercapai,” imbuh Hashim.
Keempat, kebijakan itu pun berpotensi merusak ekosistem gambut dan meningkatkan potensi kebakaran dan kekeringan di sekitar lahan gambut tersebut, karena tanaman kelapa sawit bukanlah tanaman asli gambut.
Kelima, sambung Ketua Baleg DPR asal Fraksi Gerindra, Supratman AG, lebih tepat untuk merevisi UU Perkebunan dibanding RUU Perkelapasawitan jika berkeinginan memperjelas pengaturan penanaman kelapa sawit.
Keenam, banyak poin tidak disertakan dengan jelas pada RUU tersebut, selain intensif dan lahan gambut.
“Seperti hak ulayat dan kejahatan korporasi, beneficiary ownership, kepemilikan NPWP, ketaatan pembayaran pajak dan penerimaan PNBP, serta detail sanksi pidana,” bebernya.
Ketujuh, RUU Perkelapasawitan berpotensi melegalkan perkebunan illegal yang belum diselesaikan masalahnya.
Terakhir, bakal memperbanyak masalah gangguan usaha serta konflik perkebunan yang berdasarkan data Ditjen Perkebunan Kementan pada 2012, terjadi 739 kasus.
Rinciannya, 539 kasus adalah konflik lahan (72,25 persen), sengketa nonlahan sebanyak 185 kasus (25,05 persen). “Dan sengketa dengan kehutanan sebanyak 15 kasus (2 persen),” pungkas Supratman.