KedaiPena.Com – Pemerintah membuat batasan jumlah saldo yang wajib dilaporkan Bank ke Dirjen Pajak. Aturan itu termuat dalam PMK Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Akses Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Semula disebutkan bahwa batas saldo dalam negeri yang wajib dilaporkan bank minimal Rp200 juta. Tidak lebih dari 24 jam batas tersebut direvisi. Sementara itu, nasabah berbentuk badan tidak dipatok batas atas dan bawahnya.
Anggota Komisi Keuangan DPR Heri Gunawan mengatakan, aturan tersebut telah membuat pemerintah terkesan tidak siap dengan kebijakan akses keuangan untuk perpajakan yang dibuatnya.
“Sudah perppu-nya buru-buru sampai tabrak sana, tabrak sini, aturan teknisnya terkesan terbirit-birit, infrastruktur pelaporan pun saya yakin tidak siap,” jelas politikus Partai Gerindra ini kepada KedaiPena.Com, Senin (12/6).
“Bank-bank itu pun pasti bingung bagaimana model instalasi pelaporan yang harus dijalankan. Sebab itu, saya perlu ingatkan pemerintah agar jangan buru-buru meluncurkan atas suatu kebijakan penting dan menyangkut kepentingan nasional. Ini kok seperti orang “kebelet” saja. Aneh,” sambung Heri geram.
Heri pun mencermati, terkait kebijakan intip mengintip tabungan/simpanan semakin lama semakin membingungkan. Sebab, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengtakan yang diintip adalah simpanan dengan saldo minimal 250.000 USD.
“Saya juga kurang paham kenapa Ibu Menteri (Sri Mulyani) ngomongnya dalam USD, mungkin karena terbiasa dengan USD bukan rupiah. Lalu Pak Dirjen Pajak bilang simpanan saldo minimal Ro200 juta yang diintip. Lalu tadi malam muncul siaran pers lagi mengatakan saldo minimal Rp1 miliar l. Kok aturan hitungan hari sudah berubah-ubah?,” tanya Heri.
Tidak hanya itu, kata Heri, aturan tersebut juga akan dapat mengakibatkan pasar menjadi kacau dan tidak ada kepastian. Apalagi yang disebutkan AEOI itu aslinya hanyalah untuk simpanan/tabungan orang asing di suatu negara. Dan uang nasabah dalam negeri juga bisa diacak acak.
“Bisa-bisa bank kita ‘collaps’, likuiditasnya lompat kesana kemari. Lalu, adanya protes atas batas minimum pelaporan dari kelompok nasabah UMKM menjadi indikasi kuat bahwa ada keresahan di kelompok bisnis atas kebijakan ini,” ungkap Heri.
“Mereka sudah pasti tidak nyaman dintip-intip seperti pencuri. Di bisnis itu penting sekali untuk tidak ada saling curiga dan was-was. Besok-besok, kita kan tidak tahu rekeningnya diapakan sama aparatur pajak. Apalagi kalau mental oknum tukang palak masih ada, maka celaka,” pungkas Heri.
Laporan: Muhammad Hafidh