Artikel ini ditulis Oleh Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).
Jasmerah, judul pidato Presiden Soekarno yang terakhir pada 1966, merupakan singkatan dari “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”.
Jasmerah merupakan pesan yang masih sangat relevan sampai saat ini. Karena para elit bangsa Indonesia cenderung meninggalkan sejarah. Melupakan sejarah.
Apalagi para elit oligarki. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. Demi meraup keuntungan tanpa memikirkan nasib puluhan atau ratusan juta rakyat jelata di daerah yang hidup dalam kemiskinan. Para oligarki ini mungkin juga buta sejarah.
Sepertinya, para elit bangsa memang sedang meninggalkan sejarah. Meninggalkan sejarah terbentuknya Indonesia. Meninggalkan sejarah dan fakta bahwa daerah adalah penyandang dana pembangunan Indonesia pada masa awal kemerdekaan dan pada masa ekonomi sulit.
Meskipun demikian, terkesan daerah hanya dianggap sebagai pelengkap NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahkan daerah sering dianggap menjadi beban negara. Harus dikasih uang oleh pemerintah pusat. Namanya, dana transfer ke daerah.
Padahal, Indonesia dibentuk oleh kekuatan daerah yang terbentang dari Sumatra hingga Papua. Mereka sukarela menyatukan diri membentuk Indonesia. Mendirikan Republik Indonesia. Tanpa kekuatan daerah, tidak ada Indonesia pada 17 Agustus 1945, hingga sekarang.
Yang ada mungkin kerajaan atau kesultanan. Seperti sebelum kemerdekaan. Di mana daerah di kepulauan Indonesia diperintah oleh para raja, sultan atau bangsawan.
Ekonomi Indonesia hancur akibat perang dunia kedua, yang berakhir pada Agustus 1945. Dan tambah hancur akibat perang revolusi perjuangan 1945-1949, yaitu perang untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda.
Fasilitas produksi rusak. PDB tahun 1949 lebih rendah dari PDB 1938. Produksi sektor pertanian dan perkebunan tahun 1950 lebih rendah dari 1940.
Ekonomi Indonesia tahun 1950-an tergantung dari sektor perkebunan, khususnya karet. Indonesia saat itu merupakan produsen karet alam terbesar dunia. Ekspor perkebunan, yang didominasi karet, mencapai 60 persen dari total ekspor. Mayoritas sisanya terdiri dari komoditas mineral.
Data ini menunjukkan bahwa Daerahlah yang membiayai negara Indonesia merdeka. Perkebunan karet terbesar ada di Sumatra, bagian selatan dan timur. Ekspor hasil perkebunan dan karet tersebut mengisi sebagian besar dompet devisa dan kas negara.
Harga komoditas, khususnya karet, mengalami tekanan sepanjang dekade 1960-an. Membuat Indonesia bangkrut. Cadangan devisa turun dari 293,75 juta dolar AS pada 1960 menjadi hanya tinggal 2 juta dolar AS pada 1967. Rezim Orde Lama jatuh. Rezim Orde Baru naik.
Ekonomi kemudian bangkit. Cadangan devisa naik dari 2 juta dolar AS pada 1967 menjadi 1.490,5 juta dolar AS pada 1974, dan mencapai 5.014,17 juta dolar AS pada 1981. Luar biasa.
Kebangkitan cadangan devisa ini diperoleh dari hasil ekspor minyak bumi (dan gas alam), yang melesat dari 384 juta dolar AS pada tahun fiskal 1969/1970 menjadi 18.824 juta dolar AS pada tahun fiskal 1981/1982. Atau, mencapai 81,9 persen dari total ekspor.
Di samping itu, penerimaan kas negara dari migas juga meningkat. Dari Rp65,8 miliar pada 1969 menjadi Rp8.627,8 miliar pada 1981, atau sekitar 70,6 persen dari total penerimaan negara. Belum termasuk ekspor mineral.
Luar biasa. Begitu besar kontribusi keuangan Daerah kepada Indonesia. Tanpa migas dan mineral dari daerah, Indonesia sudah bangkrut sejak lama.
Uang dari migas dan mineral ini digunakan untuk pembangunan Indonesia. Pembangunan sekolah, universitas, puskesmas, rumah sakit, jalan raya, bendungan, irigasi, pelabuhan, dan lainnya.
Daerah tampil sebagai hero, menyelamatkan keuangan negara, menyelamatkan Indonesia, dan membiayai pembangunan Indonesia.
Daerah penghasil minyak bumi dan gas alam terbentang dari Sumatra Selatan, Sumatra Timur, Sumatra Utara, Aceh, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, sampai Maluku dan Papua.
Tetapi, kebanyakan daerah-daerah tersebut justru masih miskin, dan sangat miskin. Bahkan daerah dipandang dengan sebelah mata. Banyak yang mencibir, daerah hanya menyusahkan Indonesia, karena miskin.
Tetapi, sekali lagi, Jasmerah, jangan sekali-kali meningggalkan sejarah, bahwa daerah yang membangun Indonesia pada masa awal kemerdekaan, dan ketika Indonesia bangkrut.
Termasuk pembangunan ekonomi pasca krisis 1998, di mana kekayaan mineral dan batubara serta lahan perkebunan sawit milik daerah menjadi penyangga ekonomi Indonesia untuk dapat keluar dari krisis.
Ekspor batubara melesat dari 1,3 miliar dolar AS pada 1999 menjadi 25,5 miliar dolar AS pada 2011. Secara total ekspor batubara mencapai 245 miliar dolar AS selama periode 2000-2019.
Ekspor sawit naik dari 1,1 miliar dolar AS pada 1999 menjadi 17,3 miliar dolar AS pada 2011. Ekspor karet juga naik dari 849,2 juta dolar AS (1999) menjadi 11,8 miliar dolar AS (2011)
Sayangnya, hasil kekayaan alam tersebut dinikmati oleh segelintir pengusaha oligarki.
Ini merupakan pengkhianatan besar kepada daerah, dan kepada rakyat daerah. Padahal, daerah sudah menyerahkan kedaulatannya, serta kekayaan alamnya, untuk membangun Indonesia. Tetapi mayoritas rakyat Daerah masih hidup serba miskin.
Karena itu, sebaiknya pemerintah harus terus mengingat, Jasmerah, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Bahwa daerah yang membangun Indonesia.
[***]