KedaiPena.Com – Berlarut-larutnya konflik Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sejak beberapa tahun terakhir, membuat kadernya resah, meski tiap-tiap kubu yang bertikai mengklaim paling benar dan menggugat ke pengadilan, baik Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN), hingga Mahkamah Agung (MA).
Kabar teraktual dari meja hijau, poros Romahurmuziy atau akrab disapa Romi yang terpilih melalui Muktamar Surabaya 2015 dan Pondok Gede 2015, gugatannya dikabulkan PT TUN dan MA.
Namun, menurut Sekretaris Jenderal DPP PPP Djan Faridz, Achmad Dimyati Natakusumah, hal tersebut tak bisa menjadi pijakan untuk rekonsiliasi. Dia menginginkan persatuan yang hakiki melalui musyawarah mufakat.
Pernyataan tersebut diutarakannya ketika dihubungi melalui sambungan telepon pada Sabtu (17/6) malam. Demikian petikan lengkapnya:
Tanggapan Anda terkait putusan PT TUN dan MA?
Itu kan putusannya PK (Peninjauan Kembali), kan (keputusan MA)? PK itu di dalam Undang-Undang Parpol (Partai Politik), kan tidak diatur. Dalam arti Pasal 33 ayat (2) putusan Pengadilan Negeri adalah tingkat pertama dan tingkat terakhir dan hanya dapat dikasasi kepada Mahkamah Agung. Hanya dapat. Kan ada tulisannya “hanya”. Bagaimana kok bisa PK? Ini juga saya terkaget-kaget, tercengang, dan juga sangat kagetlah, begitu. Kok bisa ya ada PK? Sementara undang-undangnya seperti itu. Kan dalam undang-undang juga tidak melalui Pengadilan Tinggi (PT). Jangan-jangan kalau di Pengadilan Tinggi diterima, berbahaya juga. Jadi, ada yang tidak patuh terhadap undang-undang. Mau bagaimana, kalau elite tidak patuh terhadap undang-undang, sedangkan rakyat, masyarakat harus patuh. Ini kan jadi sangat paradoks sekali.
Sikap selanjutnya?
Kita masih pelajari, sejauh mana ini terkait PK tersebut. UU Parpol kan sudah jelas. Ini bisa menjadi yurispruden juga.
Terus, by the way (ngomong-ngomong), ini kan kita berharap PPP Djan Faridz dan PPP Romi islah, karena bertikai itu, konflik itu, ya tadi, tidak ada yang menang tidak ada yang kalah. Karena automatically (otomatis) yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu. Ini kan problem yang ada. Ini kan parpol Islam, dua-duanya ini, kan PPP kuncinya ada di Djan Faridz dan Romi. Jadi, duduk sama rendah, berdiri sama tinggi. Jangan ego, jangan merasa salah satu lebih, lebih hebat, lebih lama, lebih kuat, lebih tinggi, lebih kaya, lebih..lebih muda, lebih tua atau lebih..jangan, ya sudah equal (sejajar) saja dulu, cari win-win solution, jangan win lose. Karena ini kan upaya hukum masih ada, PT TUN dimenangkan Romi, Pengadilan Tata Usaha Negara dimenangkan Djan Faridz, kan masih ada upaya hukum kasasi.
Saya sih berharap, sudahlah nggak usah pakai penyelesaian hukum. Lebih baik musyawarah mufakat. Tapi tadi, harus dicari solusi win-win. Golkar saja yang bukan partai (berideologi) Islam bisa. Kok masa PPP yang partai berbasis massa kan Islam nggak bisa? Apalagi, di bulan Ramadan, bulan yang penuh rahmat, bulan penuh berkah, bulan penuh magfirah (pengampunan), bulan penuh bonus, bulan memaafkan, kok ini enggak saling memaafkan? Israel dan Palestina saja yang beda agama, beda budaya, beda keyakinan bisa. Bisa gencatan senjata, bisa mengambil kesepakatan, masa ini yang warnanya sama-sama hijau (Islam), agamanya sama-sama Islam, sama-sama partai berlambang Kabah, kok nggak bisa, gitu loh? Ini, kan ego berarti. Kalau ego sudah seperti ini, saya melihat, ego kekuasaan yang ada.
Sudahlah, lepaskan dulu ego pribadi, ego kelompok, harus kepentingan partai, kepentingan perjuangan bangsa dan negara.
Partai politik itu didirikan untuk menyelesaikan konflik di masyarakat. Tapi, ini sesama partai konflik, masyarakat menjadi bingung. Ini kan kejadian Ahok effect. Romi dukung Ahok, Djan Faridz dukung Ahok, kan sepaham itu berarti.
Ada kesamaan, titik temu?
Tapi, kan ada yang tidak mendukung Ahok. (Contohnya) Pak Haji Lulung, Pak Bachtiar Chamsyah, Zarkasih Nur, Usamah Hisyam, banyak lagi yang lainnya, termasuk Habil Marati tidak mendukung Ahok. Kan mendukung Anies-Sandi. Nah, berarti ada kelompok PPP lain. Ini kan bisa pada lari para konstituen PPP. Para alim ulama, habaib pada lari dari PPP.
Terus, bersatu saja berat menghadapi Pemilu 2019, apalagi bercerai, apalagi berpisah. Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh. Kan begitu. Maka, lebih baik, ya sudah bersatu. Apa sih, jangan merasa…kalau negarawan ingin Indonesia jaya, kan kita mikir Indonesia, kalau biarkan kita bercerai, ini kan risikonya sangat berat dalam 2019 untuk lolos parliamentary threshold (ambang batas parlemen). Saya katakan, kuncinya harus bersatu dan banyak pasukan. Banyak pasukan, ya pasukan Djan Faridz sampai ke tingkat desa, tingkat kelurahan, ranting, tingkat anak cabang, kecamatan, tingkat kabupaten/kota (DPC), dan tingkat provinsi (DPW). Romi pun begitu. Sudahlah bersatu, duduk satu meja, berdua (Djan Faridz dan Romi), empat mata, aturlah bagi-bagi kekuasaan. Tentukanlah dari pusat sampai daerah. Cari solusinya.
Gencatan senjatalah, Piagam Madinah. Rasullah kan dulu membuat Piagam Madinah gitu kan untuk gencatan senjata dengan kaum Quraisy. Bisa kok itu. Masa ini antar-Islam nggak bisa?
Harapan Anda, islah terwujud kapan?
Sesegera mungkin. Di bulan Ramadan inilah islah. Sebentar lagi kan Idul Fitri, maaf lahir batin, kok masih bertikai loh, konflik loh. Apa sih yang dicari? Apa yang mau diperebutkan? Mau cari apa sih? Saya juga nggak paham. Cari legitimate (keabsahan) seperti apa? Legitimate dari mana?
Saya, untuk saya ni, mau jadi sekjen (sekretaris jenderal), mau jadi anggota biasa, mau jadi di luar pengurus, nggak ada masalah. Yang penting PPP bersatu. PPP bersama-sama lagi. Ini partai kan didirikan alim ulama, partai didirikan habaib, partai tertua juga, partai yang berbasiskan Islam, partai hasil empat fusi (partai dan ormas Islam). Kan begitu 2019 rontok, ancur, ini kan kasihan para pendiri partai ini. Para alim ulama, mereka menangis. Cita-citanya mendirikan PPP ternyata dirusak generasi sekarang. Nah, itulah problem. Jadi, saya berharap segera islahlah.
Jadi, sebelum lebaran, ya?
Kalau bisa, lebaran ini islah betul-betul, halal bihalal. Di bulan Syawal, PPP sudah bersatu. Akhirnya, pihak yang di luar PPP, yang ingin PPP tetap seperti ini (dirudung konflik dan dualisme), kan jadi malu, jadi merasa sedih juga.
Sebenarnya, kuncinya yang bisa mendamaikan, ya Pak Presiden. Karena Pak Romi mendukung Presiden Jokowi, Pak Djan Faridz juga mendukung Presiden Jokowi. Kuncinya di Presiden, kalau egonya kekuasaan. Ya, sudah…Pak Presiden yang menyelesaikan, gitu loh, bersama kedua orang itu. Cari solusinya. Kalau saya lihat, sih seperti itu.
Kalau menurut saya, sekecil apa pun di tengah-tengah masyarakat, kalau ada konflik, yang namanya kepala daerah, gubernur, bupati, wali kota, itu harus menyelesaikan dan Presiden juga tidak mau ada warga negaranya yang berkonflik. Harus diselesaikan, karena konflik itu akan juga menghambat pembangunan.
Saya bingung, partai politik kok lama-lama konflik. Ini rakyat lama-lama nggak percaya dengan parpol.
Menyebabkan deparpolisasi, ya?
Iya, bisa deparpolisasi. Ini mau merebuti apa sih? Sudahlah, kalau berdamai, Menkumham akan men-acc (menyetujui). Golkar saja yang bukan partai Islam bisa, kok PPP yang Islam lama banget? Merebuti apa? (*)