JAKARTA adalah ibukota negara, cerminan kecil dari Indonesia dan menjadi barometer orang menilai Indonesia. Jakarta adalah tujuan dari berbagai masyarakat Indonesia untuk menetap, mencari kerja, bekerja dan berbisnis.
Sehingga Jakarta menjadi tempat yang kondisinya sangat berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia. Spesial! Jadi harus ditangani orang yang spesial.
Bicara Jakarta, maka Jakarta harus dipimpin orang yang punya ketegasan, punya nyali dan mampu menghadapi juga menyelesaikan masalah. Karena harus “memaksa” semua golongan dan kepentingan mengikuti satu aturan, yaitu aturan yang dibuat oleh Gubernur DKI Jakarta.
Harus mampu membuat aturan yang bisa mengakomodir kebutuhan Jakarta dan menjadi solusi dari berbagai masalah. Jadi Jakarta butuh pemimpin yang pemimpin, bukan pemimpin yang pimpinan, yaitu orang yang baru belajar bagaimana menjadi pemimpin.
Jakarta butuh pemimpin yang bukan orangnya orang. Artinya orang yang tidak bisa diatur dan dititipi pesan untuk kepentingan partai atau golongan. Sehingga dalam menjalankan roda pemerintahan di Jakarta, benar-benar membuat keputusan berdasarkan kebutuhan warga Jakarta bukan kebutuhan sponsor.
Secara objektif calon-calon Gubernur DKI yang ada, hanya dua orang yang memenuhi syarat bukan “orangnya orang”, yaitu Prof. Yusril Ihza Mahendra dan Basuki Tjahja Purnama.
Dua nama ini bukan dari pemikiran subjektif tapi berdasarkan track record mereka berdua selama ini. Mereka berdua orang yang tegas dan berani. Prof. Yusril orang yang menyatakan benar adalah benar kepada siapapun dan tidak peduli efek dari sikapnya itu.
Dua kali beliau dipecat dari jabatan menteri karena menyatakan hal yang sesuai dengan koridor dan tidak setuju dengan ide Presiden. Tapi sebaliknya jika hal yang benar dari presiden, maka tidak tanggung-tanggung beliau mengerjakan tugas yang diberikan.
Zaman Gus Dur dan zaman SBY, ia menjadi menteri yang berprestasi tapi menjadi menteri yang dipecat juga karena keobjektifannya. Tapi Prof. Yusril akan meminta maaf kepada siapapun jika dia keliru terhadap sesuatu.
Pak Basuki adalah orang yang menyatakan benar adalah benar, salah adalah salah dan tidak takut berhadap-hadapan dengan partainya sendiri. Beliau akhirnya keluar dari partainya dan kini menjadi orang independen. Dia lebih memilih independen daripada diatur oleh pihak lain.
Mantan bupati dan anggota DPR yang tegas dan hingga detik ini tidak ada kasus korupsi yang menimpa dirinya, walaupun isu-isu ada tapi belum ada bukti. Prof. Yusril sendirian melawan pihak pemerintah yang ingin sekali jebloskannya ke penjara, tapi keberaniannya melawan menghasilkan kebenaran.
Pak Basuki sendirian melawan DPRD hingga kini dan berhasil membongkar berbagai kasus di DKI. Banyak yang ingin jebloskan beliau ke penjara. Prof. Yusril berpengalaman dalam birokrasi begitupun juga Pak Basuki. Mereka orang-orang yang sudah matang dalam memimpin.
Dan masih banyak lagi keberanian, ketegasan, kecerdikan, kecerdasan dan pengalaman mereka, kalau dijabarkan bisa satu buku. Siapapun berhak mencalonkan dan dicalonkan menjadi Gubernur DKI Jakarta. Tapi jika ingin dapatkan pemimpin jakarta yang berkualitas harus selektif.
Pengalaman memilih pemimpin yang tidak dilihat track recordnya sudah cukup menjadi pembelajaran. Hasilnya juga sudah jelas tidak jelaskan? Begitu indah ketika memilih pemimpin dengan calon-calon yang berkualitas. Bukan calon karbitan yang dimajukan untuk kepentingan tertentu.
Khusus DKI, Calon karbitan dimajukan tujuannya bukan untuk menang tapi untuk bargain dengan calon menang dan untuk dapatkan panggung politik. Masyarakat harus tahu itu, calon karbitan itu adalah alat bargain pengusung. Logikanya, Mana mungkin orang politik tidak tau kalkulasi politik?
Apalagi kalau bicara DKI, beda dengan daerah yang lain. Yang belum dikenal track recordnya bisa menang, karena beda situasi dan kondisinya. Orang politik pasti tahu dengan hitungan itu, hanya masyarakat yang mungkin belum tau bahwa calon karbitan dimunculkan untuk bargain.
Secara objektif, Jakarta baru punya dua calon yang berkualitas, selebihnya adalah calon karbitan yang digunakan untuk bargain calon jadi. Kalau bargain deal, maka calon karbitan dipakai oleh calon jadi untuk memecahbelah suara lawan calon yang dianggapnya kuat.
Masyarakat harus tahu bahwa cara kotor ini memang biasa dipakai didalam politik. Ini bagian dari strategi, tapi anehnya kok ada yang mau ya jadi alat? Saya mengharapkan dua tokoh ini bisa head to head, sehingga masyarakat pemilih bisa cerdas menentukan pilihan.
Masyarakat akan berdiskusi secara intelektual berdasarkan track record 2 calon itu. Tidak ada lagi bicara berapa uang untuk mencoblos si A Atau si B.
Oleh Teddy Gusnaidi, pengamat sosial dan politik