Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP)
PERAMALAN makroekonomi (macroeconomic forecasting) adalah salah satu fungsi inti Kementerian Keuangan (treasury).
Ramalan ini menginformasikan saran Kementerian Keuangan di berbagai spektrum kebijakan. Ini adalah aktivitas komplementer untuk memformulasikan kebijakan dan menetapkan biaya (The Australian Government the Treasury, 2013).
Peramalan makroekonomi yang andal dapat memberi tahu kita bahwa ekonomi sedang mendekati tahap akhir dari suatu ekspansi atau tahap awal dari suatu resesi.
Tujuannya agar para pelaku ekonomi dapat bertindak mengantisipasi situasi yang berkembang tersebut sehingga terhindar dari ekses-ekses yang menyertainya (Bernstein and Silbert, 1984).
Dalam situasi resesi ekonomi di tengah pandemi Covid saat ini, peramalan makroekonomi yang andal dari Kementerian Keuangan sangat diperlukan oleh seluruh pelaku ekonomi.
Sayangnya Kementerian Keuangan Indonesia tidak mampu meramal secara kondisi makroekonomi kita secara andal, sehingga sangat mungkin para pelaku usaha tidak dapat mengantisipasi situasi yang berkembang.
Akibatnya perekonomian menjadi semakin sulit lepas dari resesi. Dengan daya rusak sedemikian, cukup aneh mendapati Menteri Keuangan tidak ikut di-reshuffle dari Kabinet.
Tiga Kali Salah Ramal Makroekonomi
Sepanjang tahun 2020, Kementerian Keuangan sudah tiga kali salah meramalkan makroekonomi. Dalam hal ini adalah komponen pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Bruto/PDB, dan inflasi.
Pertama, pada bulan April 2020 Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meramal ekonomi Indonesia pada kuartal I-2020 bakal tumbuh di level 4,5%-4,7%. Ramalan tersebut meleset.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya sebesar 2,97% pada kuartal I-2020.
Kedua, pada bulan Juli 2020 Menteri Keuangan meramalkan pertumbuhan ekonomi semester I-2020 akan berada di kisaran minus 1,1 persen hingga minus 0,4 persen.
Nyatanya menurut BPS pertumbuhan ekonomi semester I-2020 minus 5,32 persen. Sangat jauh meleset.
Ketiga, pada bulan Oktober 2020, Sri Mulyani kembali memprediksi pertumbuhan ekonomi kuartal ke III 2020 akan berada pada minus 2,9 persen hingga minus 1,1 persen.
Nyatanya pertumbuhan ekonomi kuartal III-2020 menurut BPS ada di minus 3,49 persen.
Kesalahan (error) peramalan pertumbuhan ekonomi yang dilakukan Kementerian Keuangan di kuartal I, II, dan III, berturut-turut adalah (diukur dari titik median) adalah 1,63 persen, 4,57 persen, dan 1,49 persen.
Karena selalu lebih tinggi dari realita, kesalahan peramalan ini disebut sebagai bias positif (kebalikannya bila ramalan lebih rendah adalah bias negatif). Bias positif menandakan ramalan pemerintah terlalu over-optimis.
Selain pertumbuhan ekonomi, Kementerian Keuangan juga melakukan kesalahan dalam meramalkan inflasi.
Di awal tahun Kementerian Keuangan menargetkan inflasi tahun 2020 sebesar 3,1 persen, seperti tertuang dalam dokumen APBN 2020.
Kemudian pada Agustus 2020, Menteri Keuangan merevisi target inflasi 2020 menjadi 2,5 persen. Lalu pada 1 Desember 2020, Sri Mulyani kembali merevisi ramalannya tentang inflasi tahun 2020 menjadi hanya 1,5%.
Apa Yang Harus Dilakukan?
Untuk mengurangi kesalahan (error) dalam peramalan makroekonomi berikutnya, seharusnya Kementerian Keuangan segera melakukan review terhadap kesalahan peramalan makroekonomi yang telah terjadi dan menerbitkan dokumennya secara resmi agar dapat diakses publik.
Praktek yang akuntabel ini sudah dilakukan berbagai Kementerian Keuangan (treasury) di Negara lain, seperti contohnya di Australia, New Zealand, Kanada dan negara-negara persemakmuran lain.
Berdasarkan dokumen Review of Treasury Macroeconomic and Revenue Forecasting (2013) yang diterbitkan Kementerian Keuangan Australia, agar mencapai peramalan yang andal disarankan untuk menambahkan juga analisa mendalam dari sektor-sektor utama perekonomian, memanfaatkan informasi-informasi lainnya, pada model-model ekonometri yang digunakan.
Ada lima poin tambahan termaksud:
1) survei konsumen dan bisnis untuk mengidentifikasi kemungkinan arah pengeluaran rumah tangga, investasi swasta, dan perekrutan tenaga kerja;
2) menjaga dialog regular dengan komunitas bisnis untuk mengidentifikasi tren ekonomi yang muncul;
3) data pembangunan perumahan atau yang lainnya yang dapat menggambarkan aktivitas konstruksi jangka pendek;
4) Pendapat para ahli di Lembaga-lembaga pemerintah lain untuk mendapatkan data-data pertumbuhan populasi usia kerja dan perkiraan produksi komoditas non pedesaan;
5) Penilaian yang berlandaskan pengalaman dan rekam jejak korporat.
Pada akhir proses, ramalan makroekonomi tersebut juga harus melalui review dari internal pemerintahan (terdiri para ekonom senior) dan juga peer-review dari kalangan eksternal yang terdiri dari panel para ahli ekonomi di luar pemerintahan.
[***]