KedaiPena.Com – Beberapa hari lalu, dalam artikelnya di sebuah media cetak nasional, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) menyerukan untuk memerangi kecenderungan terjadinya elite capture dalam fungsi alokasi dan distribusi APBN. Caranya, menurut SMI, adalah dengan terus menjaga proses politik anggaran yang sehat dan baik.
Peneliti Lingkar Studi Perjuangan (LSP) Gede Sandra mengamini pendapat SMI ini, namun juga memiliki catatan kritis.
“Kami setuju bahwa APBN harus terhindar dari kecenderungan elite capture. Namun jangan jargon tersebut digunakan SMI menutupi kenyataan terjadinya creditor capture dalam pengelolaan APBN kita,†ujar dia kepada KedaiPena.Com, Sabtu (14/1).
Yang dimaksud Gede dengan istilah creditor capture di sini adalah kebijakan APBN rezim SMI terlalu cenderung untuk membayar utang. Suatu kebijakan (policy) politik anggaran yang hanya menyenangkan para kreditor dan pemegang surat utang (bond holders).
Seperti diketahui, dalam perubahan kedua APBN 2016 yang dibuatnya pada akhir Juli 2016, SMI telah memotong belanja kementerian dan lembaga (K/L) hingga Rp 65 triliun dan memotong dana bagi hasil dan transfer khusus ke daerah hingga Rp 68,8 triliun. Yang bila dijumlahkan, keseluruhan pemotongan anggaran yang dilakukan SMI adalah sebesar Rp 133,8 triliun.
Intermezzo sedikit, dalam artikelnya tersebut SMI telah salah menulis bahwa anggaran belanja K/L yang dipotongnya adalah sebesar Rp 64,7 triliun (padahal selisih Rp 300 miliar tentu bukan nilai yang kecil!) dan anggaran bagi hasil dan transfer ke daerah yang dipotongnya adalah sebesar Rp 65,4 triliun (padahal selisih Rp 3,5 triliun juga bukan nilai yang kecil).
Sementara, seperti dipublikasikan pada bulan Oktober 2016, pemerintah Indonesia telah melakukan pembayaran utang sebesar Rp 398,1 triliun, yang terdiri dari pokok utang Rp 251,55 triliun dan bunga utang sebesar Rp 146,55 triliun.
“Anggaran yang jelas-jelas untuk pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat dipotong SMI hingga Rp 133,8 triliun. Bandingkan dengan anggaran untuk para kreditor dan bond holders sebesar Rp 398,1 triliun yang tidak diusiknya sama sekali,†jelas Gede.
Perlu diketahui, total utang pemerintah pusat hingga September 2016 adalah sebesar Rp 3.444,82 triliun yang terbagi atas pinjaman dari kreditor sebesar Rp 744 triliun dan surat utang/bond (surat berharga negara) sebesar Rp 2.700,82 triliun.
Sementara dari kreditor, pinjaman bilateral terbesar adalah berasal dari Jepang sebesar Rp 225,95 triliun dan pinjaman multilateral terbesar berasal dari Bank Dunia -lembaga asal SMI- sebesar Rp 224,37 triliun dan disusul Bank Pembangunan Asia sebesar Rp 118,97 triliun.
Laporan: Muhammad Hafidh
Foto: Istimewa