KedaiPena.Com – Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Pieter Abdullah Redjalam mengkritisi penerbitan global bond atau surat utang
sebesar US$ 4,3 miliar dalam 3 bentuk surat berharga global yaitu Surat Berharga Negara (SBN) seri RI1030, RI 1050, dan RI047.
Menurut Pieter pemerintah seharusnya mendahulukan penerbitan surat utang dalam negeri berdenominasi rupiah dengan mengutamakan skema pembelian oleh BI.
“Sentimen pasar sekarang masih sangat negatif akibat ketidakpastian ditengah wabah Covid-19. Penerbitan global bond di tengah sentimen pasar yang negatif, permintaan yang sangat rendah dan mendorong pemerintah meningkatkan iming-iming return yaitu kupon dan tenor yang sangat panjang (50 tahun),” kata Pieter kepada KedaiPena.Com, Jumat, (10/4/2020).
Pieter menambahkan bahwa penerbitan global bond atau surat utang tersebut mengibaratkan keterpaksaan untuk mengobral SUN karena terdesak butuh uang. Meskipun, Pieter mengakui, penerbitan global bond saat ini memang dibutuhkan untuk menimalisir kekurangan dolar.
“Dengan penerbitan global bond, kita bisa menutup keluarnya Cadev YH yang dipergunakan BI untuk intervensi dalam rangka stabilisasi rupiah. Tapi kita tidak terlalu terburu-terburu membutuhkan tambahan dolar,” tegas Pieter.
“Cadev kita saat ini masih cukup besar, 120 miliar dollar. Apalagi BI juga memiliki second line of defense yang juga lumayan besar. Ditambah kesepakatan kerjasama BI dengan The Fed dimana memberikan fasilitas repo line senilai 60 miliar dollar AS,” sambung Pieter.
Dengan demikian, lanjut Pieter, Indonesia tidak mendesak membutuhkan dollar AS sekarang ini. Seyogyanya penerbitan global bond dapat dilakukan ketika wabah sudah mereda dan sentimen pasar mulai pulih.
“Di tengah kebijakan moneter global yang cenderung menurunkan suku bunga maka penerbitan global bond bisa mendapatkan harga yang lebih rendah dengan tenor yang normal,” tandas Pieter.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk kali pertama dalam sejarah Indonesia menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) bertenor sangat panjang, yakni mencapai 50 tahun.
SUN itu diterbitkan guna memenuhi kebutuhan pembiayaan anggaran, termasuk untuk menghadapi wabah virus Corona atau (Covid-19).
Sri menerbitkan SUN dengan tiga seri berdenominasi dolar AS, yakni seri RI1030, RI1050 dan RI0470. Total nominal yang berhasil diraup sebesar US$4,3 miliar, terdiri dari masing-masing US$1,65 miliar tenor 10,5 tahun, US$1,65 miliar tenor 30,5 tahun dan US$1 miliar untuk 50 tahun.
“Sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang No. 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara, Menteri Keuangan menetapkan hasil transaksi penjualan SUN dalam valuta asing,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan Rahayu Puspasari dikutip dari keterangannya, kemarin.
Pembiayaan APBN melalui mekanisme pasar, kata Rahayu, merupakan upaya Pemerintah untuk tetap menjalankan kebijakan fiskal secara kredibel, disiplin, dan berkelanjutan di tengah kondisi perekonomian global yang bergejolak, terutama seperti saat ini yang disebabkan wabah Covid-19.
Laporan: Muhammad Hafidh