MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendukung gagasan calon Wakil Presiden Sandiaga Salahuddin Uno yang, jika dia dan pasangannya Prabowo Subianto terpilih, akan membangun infrastruktur tanpa utang. Kebijakan ini, kata Menkeu, akan membuat perekonomian dan keuangan Indonesia jadi sehat.
“Membangun infrastruktur tanpa utang itu bagus. Ini akan menjamin Indonesia memiliki perekonomian dan keuangan negara yang sehat, di mana utang semakin kecil. Itu saya sangat hargai sekali,” kata Sri Mulyani di Gedung Dhanapala Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin (10/12).
Sampai di sini kita melihat adanya paradoks. Sri mengaku membangun infrastruktur tanpa utang menjadi sangat penting karena akan menyehatkan APBN. Indikator APBN yang sehat, menurut dia, adalah utang yang semakin mengecil. Artinya, dia mengakui bahwa utang sudah menjadi beban yang sangat serius bagi APBN kita.
Dalam banyak kesempatan, Sri selalu mengklaim telah mengelola APBN dengan prudent atawa hati-hati. Dia juga mengaku ‘concern’ dengan utang. Di sisi lain, kendati jumlah utang terus membengkak, bekas Direktur Pelaksana Bank Dunia itu selalu saja menyebut masih aman karena rasionya dibanding PDB masih jauh di bawah batas yang diamanatkan UU, yaitu 60%.
Data Bank Indonesia menunjukkan, utang luar negeri (ULN) Indonesia sampai triwulan III-2018 mencapai US$359,8 miliar. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, ULN naik 4,2% (yoy). Jumlah ini meliputi utang pemerintah dan bank sentral sebesar US$179,2 miliar, serta utang swasta termasuk BUMN US$180,6 miliar. Dengan kurs dolar BI per hari ini (11/12) yang Rp14.613/US$, maka utang yang US$359,8 miliar itu setara dengan Rp5.258 triliun.
‘Lempar handuk putih’
Mungkinkah dukungan Sri terhadap rencana kebijakan Prabowo-Sandi yang akan membangun infrastruktur tanpa utang menunjukkan sejatinya dia nyaris ‘lempar handuk putih’? Pasalnya, jumlah utang yang kelewat gede memang amat merepotkan. Di ring tinju, kalau pelatih sudah melempar handuk putih, artinya menyerah.
Bayangkan, di APBN 2018, alokasi pembayaran bunga plus pokok utang mencapai Rp604,4 triliun. Jumlah superjumbo itu terdiri atas pembayaran bunga sebesar Rp249,4 triliun dan cicilan pokok Rp355 triliun (angka ini tidak dimunculkan di APBN).
Alokasi untuk membayar cicilan dan pokok utang ini jauh lebih besar ketimbang anggaran pendidikan yang sesuai amanat UU minimal 20%, yaitu Rp444,1 triliun. Juga lebih gede dibanding alokasi untuk infrastruktur yang sangat dibanggakan itu, Rp410,4 triliun.
Ternyata, diam-diam anggaran untuk membayar utang telah melahap 37% dari pendapatan perpajakan kita. Itulah barangkali sebabnya Sri tampak antusias jika gagasan Prabowo-Sandi bisa direalisasikan. Mungkin ini bisa jadi exit dari ‘nafasnya yang hampir putus’ karena kepayahan mengelola APBN.
Tapi, tunggu dulu. Bisakah membangun infrastruktur tanpa utang? Bagaimana caranya? Jawabnya, bisa! Rizal Ramli, Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur pernah melakukannya. Waktu itu, RR, begitu dia biasa disapa, mampu membalik pertumbuhan ekonomi dari minus 3% menjadi 4,5%. Hebatnya lagi, pertumbuhan ekonomi total 7,5% itu diraih tanpa utang, justru sukses mengurangi utang Indonesia sebesar US$4,5 miliar.
Bagaimana cara RR melakukan semua itu? Di antaranya, dengan melakukan pertukaran utang dengan ‘biaya’ pelestarian lingkungan. Utang ke Jerman, misalnya, Indonesia menyediakan 100.000 ha lahan hutan untuk dikonservasi. Jerman mengganjar upaya itu dengan mengurangi utang hingga ratusan juta dolar.
Dia juga melakukan restrukturisasi utang, menukar utang lama berbunga mahal dengan utang baru yang bunganya lebih murah dan bertenor lebih panjang. Hasilnya, Kuwait bukan saja setuju merestrukturisasi utang Indonesia, tapi juga menghadiahi jembatan layang Pasopati di Bandung yang dibangunkan secara gratis.
Pembangunan infrastruktur tanpa utang juga bisa dilakukan dengan sekuritisasi proyek infrastruktur yang sudah jadi. Caranya, Pemerintah menjaminkan potensi pendapatan proyek di masa depan untuk memperoleh pendanaan. Sekuritisasi sangat berbeda dengan penjualan aset BUMN kepada swasta.
Sayangnya, justru pola terakhirlah yang kini banyak dilakukan Pemerintah Jokowi. Itulah sebabnya kita ketahui Pemerintah amat bernafsu menjual jalan tol, pelabuhan, dan bandara.
Intinya, diperlukan kemampuan para petinggi negeri untuk mengambil langkah terobosan alias ‘out of the box’. Pemerintah juga dituntut inovatif dan kreatif. Bukan seperti para menteri ekonomi sekarang yang bisanya hanya menambah utang dan menjual aset negara.
Bagi para penganut paham neolib ini, membayar utang adalah prioritas utama. Mereka merasa puas bahkan bangga kalau Indonesia dianggap sebagai ‘good boy’ karena kepatuhannya dalam membayar utang tepat pada waktunya.
Pengurangan pajak
Sebelumnya, Sandiaga menyatakan banyak cara yang bisa dilakukan dalam membangun infrastruktur tanpa harus berutang. Antara lain, mendorong kerjasama dengan pihak swasta hingga meningkatkan pendapatan dari sisi penerimaan pajak.
Peningkatan pendapatan perpajakan dilakukan melalui perbaikan ‘tax ratio’. Caranya, bukan dengan menaikkan tarif pajak, tapi justru menurunkan tarif pajak. Langkah inilah yang dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin pada 2001 silam.
Waktu itu tarif pajak penghasilan di Rusia 80%. Putin menurunkan menjadi 13% dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran rakyat dalam membayar pajak. Dampaknya, pendapatan pajak penghasilan pribadi meningkat dari US$6,2 miliar pada 2000 menjadi hampir US$12 miliar pada 2002.
Bukan itu saja, tingkat kemiskinan di Rusia juga tercatat terus turun. World Bank mencatat, rasio tingkat kemiskinan dari batas garis kemiskinan Rusia di 2000 sekitar 29% dari total penduduk turun jadi 24,6%. Angka itu terus terjun hingga pada 2012 berada di level 10,7%.
Tentang pengurangan pajak saat ekonomi melemah juga sudah lama disuarakan Rizal Ramli. Pemerintah, menurut dia, harus mengurangi pajak dan menggelontorkan anggaran untuk memompa perekonomian di dalam negeri. Langkah inilah yang dilakukan Amerika saat negeri itu diterjang krisis.
Sayangnya, Pemerintah kita justru melakukan pengetatan anggaran (‘austerity policy’) untuk menangani masalah ekonomi yang lunglai. Akibatnya, justru kontra produktif. Tapi, begitulah bila perkara ekonomi diserahkan kepada para hamba dan pejuang neolib!
Dengan kebijakan yang ‘creditors first’ dan generik seperti saat ini, tidak heran bila ‘tax ratio’ pada September 2018, tanpa memasukkan penerimaan SDA, rasio pajak hanya di kisaran 9,3%. Padahal, sampai periode yang sama tahun sebelumnya angkanya mencapai 9,9%. Harusnya, kalau mau membangun tanpa utang dan ekonomi tumbuh di atas 6,5%, rasio pajak ada di angka 16%.
Dengan fakta seperti ini dan bombardir defisit di banyak area (neraca perdagangan, transaksi berjalan, neraca pembayaran, keseimbangan primer, dan defisit APBN) kok bisa-bisanya Sri mengklaim telah mengelola APBN dengan ‘prudent’? ‘Piye to, mbok’? [*]
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)