SEEKOR naga yang kita dikenal kini bisa ditelusuri lamat-lamat nun jauh ke belakang sana, ketika anda masih usia anak-anak.
Naga sejak awal diperkenalkan gambarnya pada anak-anak, biasanya bersamaan pengenalan deretan hewan nyata lain, seperti cicak, nyamuk, ayam, kelinci, monyet, kelabang dan sebagainya.
Citra naga sebagai ular raksasa hadir sebagai hewan mitologi dari legenda Cina. Ada beberapa jenis naga dalam legenda Cina. Tapi yang terkenal berbentuk ular raksasa terbang yang bertanduk dan bercakar itu.
Naga yang lebih Eropa sentris juga ada, bertubuh laksana dinosaurus yang bisa terbang ala film Hollywood.
Selain itu, reptil purba khas nusantara yang masih ada sampai kini, yakni komodo, biasa disematkaan “dragon” pada namanya sehingga menjadi Komodo Dragon.
Di dunia kekuasaan politik dan bisnis, naga yang kabarnya saat ini paling berbahaya adalah jaringan mafia bisnis “Sembilan Naga”.
Sebuah legenda bisa saja nyata pada awalnya. Bisa juga cerita rekaan sarat hikmah. Terlepas naga itu pernah ada atau cuma rekaan, tapi citra tentang naga telah menyejarah di kehidupan kita.
Di tengah masyarakat kita, terlebih saudara kita etnis Tionghoa, citra naga itu terus ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat gambar-gambar. Seperti pada guci, ukiran klenteng, batu giok, patung, ornamen busana, maupun tatto di tubuh perempuan seksi, preman pasar dan bandar narkoba.
Di hari raya imlek kali ini, citra naga muncul kembali menancapkan dan memelihara citranya lebih kuat lewat ornamen-ornamen imlek, lewat Tari Liong dan Barongsai.
Dan seperti imlek-imlek sebelumnya di negeri kita, saya selalu terkenang sesosok pejuang kebhinnekaan sejati yang berjasa melapangkan masuknya Imlek dalam kalender nasional: KH Abdurahman Wahid.
Selamat Imlek, wahai keluarga Tionghoa Indonesia-nasionalis dan anak-anak keturunannya. Gong Xi Fat Chai!
Salam Anak Nusantara
Oleh Nanang Djamaludin, Jaringan Anak Nusantara (Jaranan)