KedaiPena.Com – Sejumlah peristiwa hingga keputusan politik yang terjadi di tanah air dalam beberapa waktu terakhir, memberikan dampak negatif yang cukup besar bagi kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Tidak hanya Jokowi, PDIP sebagai partai pengusung utama pun terkena imbas dari hal tersebut.
Pengamat komunikasi politik Silvanus Alvin menilai dampak negatif tersebut terasa ke PDIP yang akan ikut serta dan mengusung kadernya pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak tahun depan.
“Sebab citra Jokowi telah terjun bebas karena tremor politik yang terjadi beberapa minggu terakhir, mulai dari ricuh Papua, kebakaran hutan dan lahan, revisi UU KPK dan KUHP yang ditangani secara lambat,” ujar Alvin dalam perbincangan dengan KedaiPena.Com, Minggu (22/9/2019).
Alvin menjelaskan, bahwa politik merupakan hal yang transaksional. Jika ada benefit maka orang-orang akan mendekat dan menunggangi.
Oleh sebab itu, menurut dia, kader- kader PDIP diprediksi enggan menunggangi citra dan nama besar Jokowi pada momentum pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2020.
“Tapi kalau citra Presiden Jokowi sedang buruk, kemungkinan besar ia akan ditinggalkan. Ia sudah tidak memberikan dampak elektoral secara positif,” tegas Alvin.
Ia memandang, para kader PDIP nanti akan lebih memilih menunggangi citra Megawati Soekarnoputri yang cenderung lebih stabil, bahkan boleh dikatakan sudah berada di level negarawan.
“Jadi bisa dibilang kader-kader PDIP melalui momentum pilkada mulai meninggalkan Jokowi. Karena khawatir akan turut terdampak citra buruk Jokowi,” papar Alvin.
Meski demikian, lulusan Leicester University ini melihat Jokowi hanya berperan dan berada di posisi sebagai korban dari sejumlah peristiwa hingga keputusan politik tersebut.
“Karena ia bukan petinggi partai, hanya individu sipil. Jadi political leverage dia saat ini kurang kuat. Kinerja Jokowi tidak seperti biasa karena pihak-pihak di bawahnya agak ‘bandel’,” kata Alvin.
Diketahui, Presiden Jokowi sendiri mendapatkan sorotan dari masyarakat pasca keputusan untuk mendukung pengesahan RUU KPK. Padahal dalam janji kampanye Jokowi menegaskan komitmen dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Bukan hanya soal itu saja, sikap mantan Gubernur DKI Jakarta terkait RKUHP hingga kebakaran hutan yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan juga dipertanyakan.
Gelombang demo di sejumlah wilayah Indonesia tidak bisa dihindarkan. Kelompok mahasiswa hingga elemen masyarakat turun ke jalan mempertanyakan serta menagih janji orang nomor satu di Indonesia ini.
Presiden Mengalah soal RKUHP Agar Pengesahan RUU KPK Tidak Dipertanyakan
Berbeda, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari menilai curiga permintaan penundaan RKUHP yang disampaika oleh Presiden Jokowi beberapa waktu lalu.
Feri menilai, bahwa hal tersebut adalah upaya untuk meredam agar masyarakat tak lagi mempermasalahkan revisi UU KPK dan UU Pemasyarakatan.
“Jika sudah ditunda RUU KUHP diharapkan masyarakat bisa menerima bahwa presiden mengalah,” ujar Feri.
Feri menambahkan, Jokowi menggunakan standar ganda dalam menyikapi RKUHP dan RUU KPK.
Feri pun menduga standar ganda ini muncul karena ada perbedaan kepentingan elite politik terhadap dua RUU ini.
Feri menyebut RKUHP tak berkaitan langsung dengan kepentingan Presiden dan rekan-rekannya di Senayan.
Sementara, untuk revisi UU KPK, para elite politik memang memiliki kepentingan untuk melemahkan KPK dan agenda pemberantasan korupsi.
Apalagi, belakangan DPR dan pemerintah juga sudah menyepakati revisi UU Pemasyarakatan yang mempermudah pembebasan bersyarat napi koruptor.
“Semua satu paket untuk menyelamatkan koruptor,” kata Feri.
Laporan: Muhammad Hafidh