KedaiPena.Com – Wajah Bung Karno tampak sumringah saat meresmikan pabrik semen di Gresik, Jawa Timur, pada 7 Agustus 1957. Semen bukan sekedar soal industri, tetapi juga tiang pancang untuk cita-cita besar Bung Karno: ekonomi berdikari.
Pabrik semen gresik adalah pabrik semen kedua milik RI. Yang pertama, pabrik Semen Padang, merupakan bekas pabrik Belanda yang dinasionalisasi tahun 1958.
Sayang, kendati Indonesia sudah punya dua pabrik semen, tetapi kapasitas produksinya baru memenuhi 60 persen kebutuhan nasional. Sisanya, 40 persen, harus diperoleh melalui impor. Inilah yang membuat Bung Karno masih agak resah.
Bayangkan, barang yang sifatnya vital harus diimpor dari luar negeri. Selain berbiaya mahal dan menguras kas negara, juga menciptakan ketergantungan ekonomi. Bung Karno tidak setuju itu. Karena itu, tidak ada pilihan lain, Indonesia harus membangun pabrik semen sendiri.
Betapa vitalnya industri semen bagi bangsa, Bung Karno kerap menyinggungnya dalam pidato. Seperti pada pidato tanggal 11 Juli 1960 di hadapan pemuda-pemuda di Surakarta.
“Mana bisa membuat gedung ini kalau tidak ada semen. Mana bisa membuat pabrik kalau tidak ada semen. Mana bisa bikin jembatan kalau tidak ada semen; mana bisa membuat landasan kapal udara kalau tidak ada semen. Mana bisa membuat pelabuhan jikalau tidak ada semen,†kata Bung Karno.
Begitu pentingnya pabrik semen, sampai-sampai di pidato itu, Sukarno mengulang kata “pabrik semen†empat kali: kita harus membangunkan pabrik semen, pabrik semen, pabrik semen, pabrik semen.
Pada Semen Bung Karno melabuhkan mimpi. Pertama, dengan memproduksi semen sendiri, Indonesia bisa berdikari dalam membangun. Kedua, jika semen tersedia, kemudian pembangunan jalan, maka cita-cita masyarakat adil dan makmur bisa terwujud.
Begitulah mimpi Bung Karno 60 tahun lalu. Nah, pertanyannya, sudahkan mimpi Bung Karno itu terwujud?
Memang, setelah 60 tahun, pabrik semen kita berkembang. Sekarang ada 3 BUMN semen: Semen Indonesia, Baturaja, dan Semen Kupang. Dua perusahaan semen awal kita, yakni Semen Pandang dan Semen Gresik, melebur ke dalam Semen Indonesia.
Sekarang kapasitas produksi Semen Indonesia sudah 30 juta ton. Sedang Baturaja 2 juta ton dan Semen Kupang 0,5 juta ton. Kendati kapasitas produksi itu sudah besar, tetapi baru memenuhi 34 persen kebutuhan nasional. Sedangkan 66 persennya di tangan perusahaan semen swasta dan asing. Jadi, saudara-saudara, kita belum berdaulat dalam produksi semen.
Mimpi Bung Karno belum terwujud.
Tetapi BUMN kita tidak menyerah. Selain memperbaiki manajemen, mereka berusaha menaikkan kapasitas produksi. Semen Indonesia berencana membangun pabrik baru di Jawa. Tepatnya di Rembang, Jawa Tengah. Tentu ada yang bertanya, kenapa Jawa Tengah?
Untuk anda ketahui, sebagian besar konsumsi semen nasional itu ada di Pulau Jawa. Konsumsi semen untuk pulau Jawa mencapai 56 persen. Di susul Sumatera dengan 22 persen. Sedangkan pulau-pulau lain di bawah 2 persen.
Sayang, upaya pembangunan pabrik baru Semen Indonesia di Rembang terantuk masalah. LSM dan sejumlah akademisi menggelorakan penolakan. Mereka menakut-nakuti warga sekitar tambang dengan isu bahaya kerusakan lingkungan.
Janggalnya, LSM dan akademisi itu hanya mempersoalkan pabrik semen Indonesia di Rembang, tetapi tutup mata dengan belasan perusahaan semen swasta yang sudah beroperasi lama di Rembang dan sekitarnya.
Tanpa mengabaikan aspirasi masyarakat, termasuk mereka yang menyebut diri Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), aksi penolakan terhadap Semen Indonesia di Rembang rentan ditunggangi oleh kepentingan kompetitor swasta dan asing.
Di Rembang, sejak 1998, sudah ada puluhan perusahaan semen. Sebut saja: PT Sinar Asia Fortune (SAF), PT Indonesian Comcocrown Chemical Industry (ICCI), PT Amir Hajar Kilsi, PT Rembang Bangun Persada (PT Bangun Artha), dan lain-lain.
Di Kabupaten Pati sendiri, tempat sebagian besar anggota JMPPK berasal, sudah ada PT Sahabat Mulya Sejati (SMS), anak perusahaan Indocement Tunggal Prakarsa. Sayangnya, kita tidak pernah mendengar aksi cor kaki pakai semen tolak Indocement.
Dan sekarang, makin banyak perusahaan swasta dan asing yang mengincar potensi semen di Jawa. Disamping Indocement dan Lafargeholcim, juga ada pemain-pemain baru yang relatif kuat seperti Siam Cement (Thailand), Merah-Putih (Wilmar Group), Anhui Conch (Cina), dan lain-lain.
Relakah kita membiarkan BUMN tersisih dari persaingan industri semen itu? Relakah kita membangun bangsa ini dengan bergantung pada semen hasil produksi swasta dan asing?
Tentu saja tidak. Karena itu, kita perlu mendukung Semen Indonesia dan BUMN lainnya. Tetapi kita juga tidak abai dengan persoalan lingkungan dan sosial. Karena itu, mari mengawal kinerja BUMN dengan kritik, agar mereka tidak abai dengan kewajiban menjaga daya dukung lingkungan dan sosial. BUMN harus membuka tangan bagi partisipasi sosial masyarakat sekitar, sekaligus belajar mendengar masukan mereka.
Hanya dengan begitu, kita bisa berdaulat dalam produksi semen, dan bisa membangun Negeri lebih maju, sekaligus bisa mewariskan lingkungan yang lestari untuk anak-cucu. Begitulah cita-cita Bung Karno sebetulnya.
Laporan: Anggita Ramadoni