TENGOK sejarah penjarahan keuangan Indonesia dalam peristiwa chaos 1997/1998. Chaos meliputi kekacauan konstitusi dengan dimulainya amandemen UUD 1945, pembuatan berbagai UU neoliberal yang kacau, dan kekacauan sosial yang terjadi di seluruh tanah air.
Dari peristiwa itu kita akan belajar bagaimana penjarahan terhadap kekayaan keuangan bangsa Indonesia, yang selanjutnya pihak yang menjarah menjadi buffer beroperasinya reformasi hingga saat ini.
Sekilas tidak terlalu penting
Proses penjarahan dimulai dari Program rekapitalisasi bank swasta diluncurkan oleh BPPN pada bulan September 1998 ditengah kekacauan politik.
Bank-bank tersebut dikategorikan menjadi tiga kelompok berdasarkan audit oleh perusahaan akuntansi internasional melalui penyesuaian yang didukung institusi internasional IFI.
Ketiga kelompok bank tersebut yakni; CAR bank kategori A berada di atas cut-off 4%, dan diizinkan untuk melanjutkan operasi.
Itu antara 4% dan –25%, Kategori B, adalah kandidat untuk program rekapitalisasi asalkan mereka pemilik/ pemegang saham dapat menyuntikkan 20% modal baru yang diperlukan untuk mencapai CAR 4%.
Bank dengan CAR kurang dari –25% dimasukkan ke dalam Kategori C dan pemilik/pemegang saham mereka diberi waktu untuk menyuntikkan sejumlah ekuitas yang cukup untuk mendorong mereka ke Kategori A atau B, yang memenuhi syarat bank-bank ini untuk program rekapitalisasi.
Bank-bank kategori B dan C yang pemilik/pemegang sahamnya tidak dapat menyuntikkan modal yang diperlukan harus diambil alih oleh BPPN atau ditutup.
Hasil audit diumumkan pada bulan Maret 1999. Ditemukan bahwa dalam kategori A, 73 bank memiliki CAR minimal 4% dan karenanya tidak termasuk dalam program kapitalisasi.
Dalam kategori B, sembilan bank akan direkapitalisasi, asalkan pemiliknya memenuhi persyaratan; tujuh akan diambil alih oleh BPPN; dan 38 ditutup.
17 bank Cateogry C yang tersisa dengan CAR di bawah –25% dinilai bangkrut tanpa prospek mendapatkan kembali kelayakan finansial.
Intinya krisis perbankkan yang terjadi akibat bank “dijarah” oleh pemiliknya sendiri harus ditanggung oleh negara. Karena negara dipandang sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas kekacauan politik yang terjadi.
Sehingga Negara harus membiayai sumber krisis yakni membiayai penuh pemulihan bank, membayar utang bank bank yang kolaps, negara mengganti uang nasabah, negara menanggung seluruh kerusakan ekonomi, padahal semua itu terjadi akibat kejahatan keuangan para bankir.
Bagian yang Penting
Total obligasi senilai Rp 648 triliun diterbitkan oleh pemerintah untuk rekapitalisasi bank. Dari jumlah tersebut sekitar Rp 430 triliun adalah dalam bentuk obligasi rekapitalisasi.
Tambahan Rp 218 triliun dikeluarkan untuk BI sebagai penyelesaian biaya kepada BI atas dukungan likuiditas BLBI untuk bank-bank pada puncak krisis.
Apa itu BLBI? BLBI adalah dukungan likuiditas dari BI, dalam perannya sebagai pemberi pinjaman terakhir, kepada bank-bank bermasalah untuk menjaga sistem perbankan tetap berfungsi dalam menghadapi pergerakan bank besar-besaran selama krisis.
BI menyediakan total Rp 164,5 triliun, di mana 144,5 triliun pergi ke 48 bank yang ditangguhkan dan sisanya ke Bank negara EXIM. Untuk bank yang diambil alih oleh BPPN, dukungan BLBI dikonversi menjadi ekuitas (kewajiban pemerintah) oleh pemerintah, sehingga tidak lagi tampak sebagai hutang dalam neraca bank.
Hal ini mengakibatkan pengalihan kepemilikan bank kepada pemerintah, yang memulihkan kasnya saat bank dijual oleh BPPN. Namun, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan melalui audit bank-bank penerima oleh perusahaan-perusahaan internasional, beberapa bulan setelah pemberian dukungan, penyalahgunaan sebagian besar dana BLBI.
Jika penjualan BPPN tidak dapat membiayai kerugian, ini akan menjadi beban wajib pajak. Pemerintah dan BI sedang berusaha mencapai kesepakatan tentang pembagian beban.
Dari Rp144,5 triliun BLBI Yang dicairkan ke sekitar 48 bank swasta, audit menemukan bahwa 96% berpotensi hilang atau tidak dapat dipulihkan, 59% disalahgunakan, memberikan pinjaman tanpa agunan yang cukup, dan hanya Rp. 35 triliun dapat dipertanggungjawabkan dan sekitar Rp12 triliun telah diamankan dengan baik.
Empat bank yakni Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Central Asia (BCA), Bank Danamon dan Bank Umum Nasional (BUN), menyumbang dua pertiga dari total dana BLBI.
Kembali lagi ke Obligasi rekap. Obligasi pemerintah ini mengandung masalah yakni stok utang yang besar, biaya bunga untuk anggaran program ini juga sangat tinggi (suku bunga obligasi bervariasi dari 10-16,5%); dan beberapa pembayaran bunga (pada apa yang disebut “obligasi lindung nilai”) dalam mata uang asing yang rawan terdepresiasi.
Obligasi rekap menyediakan sumber pendapatan utama bagi banyak bank. Dengan alasan tanpa sumber pendapatan ini mereka akan kesulitan membayar bunga atas simpanan.
Karena itu peran dan tanggungjawab pemerintah dipandang sebagai keharusan, sehingga obligasi rekapitalisasi merupakan beban yang berkelanjutan bagi pemerintah. Sampai sekarang. Pemerintah bebankan kepada rakyat. Enak benar ya?
Sekedar untuk diingat
Sebagaimana dicatat, program restrukturisasi dan rekapitalisasi, usaha yang sangat sensitif secara politis, dilaksanakan di bawah empat presiden yang berbeda, dan melalui perubahan mendasar dalam sistem politik.
Karena skandal ini menjadi ukuran keberhasilan kinerja dan hasil dari pemerintah (dan Program). Kesuksesan skandal ini telah diberi penghargaan sebagai proses yang hebat dalam orde reformasi ini.
Proses ini dimulai di bawah Presiden Soeharto dengan sistem presidensial terpusat memutuskan penutupan 16 bank awal (November 1997), keputusan tentang jaminan menyeluruh dan pendirian BPPN (Januari 1998), dan pemindahan kelompok pertama PT bank ke BPPN.
Setelah pengunduran diri Presiden Soeharto, restrukturisasi dan rekapitalisasi dilanjutkan di bawah Presiden Habibie, diikuti kemudian oleh Presiden Wahid dan selanjutnya Megawati.
Sistem politik berkembang menjadi menjadi semakin majemuk, dengan peran yang lebih besar dimainkan oleh Parlemen dan partai-partai politik terwakili di sana, seluruhnya terlibat langsung pada proses restrukturisasi dan rekapitalisasi. Mulailah proses ini menjadi bancakan preman politik reformasi dalam situasi yang kisruh.
Dengan berbagai alasan akhirnya biaya rekapitulasi dibebankan seluruhnya kepada pemerintah. Setelah operasi bendera palsu “selimut jaminan” yang diberikan oleh pemerintah gagal menyelamatkan 16 bank swasta yang terpaksa ditutup pada bulan November 1997.
Hasilnya biaya rekapitalisasi adalah tanggung jawab penuh pemerintah. Biaya-biaya ini termasuk pembayaran bunga berkelanjutan pada obligasi rekapitalisasi, yang merupakan biaya bagi pemerintah kepada publik Indonesia; Bagian lain (sangat signifikan) dari suntikan likuiditas BLBI tidak pernah dilunasi oleh bank pemilik; dan sebagian terkait kerugian yang terjadi dalam disposisi NPL (perbedaan antara buku mereka nilai dan harga pasar pada disposisi). Skandal berlipat ganda.
Secara operasional, penjarahan uang bangsa indoensia dilalukan melalui BPPN. Beragam aset yang dimiliki BPPN yang mencakup (i) aset yang diserahkan atau dijaminkan oleh mantan pemegang saham bank beku terhadap pembayaran kembali kredit likuiditas (kewajiban BLBI); (ii) NPL dari bank swasta dan bank milik negara; (iii) dan saham di bank bermasalah.
Semua dalam semua, aset di bawah kendali BPPN selama periode (1999-2002) secara kasar dihargai lebih dari Rp 500 triliun atau lebih dari $ 55 miliar, lebih dari 55% dari PDB Indonesia. ingatlah mereka pernah membebani utang pada negara hingga separuh PDB indonesia dalam sekejap!
Kok Sekarang Jadi Chaos Lagi?
Pemerintah menyerahkan tanggung jawab untuk merestrukturisasi NPL dan menjual aset dan bank ke lembaga khusus, BPPN. Dari sinilah oligarki taipan mencengkeramkan kuku-kukunya dalam kembali membawa uang uang mereka masuk ke Indonesia, membeli aset aset mereka kembali secara murah, menancapkan supremasi secara ekonomi dan mendapatkan kekuasaan politik sekaligus dengan membeli semua aktor aktor reformasi. Reformis gadungan, istilah dulu kaum pergerakan.
Oligarki taipan penerima dana rekap dan dana BLBI kembali dengan segunung kekayaan hasil melarikan uang ke luar negeri. Meski sebagian besar kekayaan mereka simpan di luar negeri di bank bank asing, di negeri negeri surga pajak, namun tetap uang yang mereka bawa ke Indonesia merupakan jumlah yang cukup untuk membeli kembali aset aset mereka, jumlah yang cukup untuk menguasai kembali sektor keuangan, perdagangan, sumber daya alam, hingga bisnis ritel.
Oligarki taipan rule of the jungle reformasi. Mereka membeli partai politik, membeli media massa, membiayai LSM dan ormas, mengatur sirkulasi pejabat negara pada semua institusi penting dan institusi yang uangnya banyak.
Dengan kekuasaan itu oligarki taipan semakin leluasa menumpuk kekayaan, menguasai proyek proyek pemerintahan, belanja negara, dan mega proyek yang dijamin dengan APBN. Mereka juga menguasai tanah, tambang, pembangkit listrik hingga properti.
Dalam politik oligarki taipan adalah penentu kemenangan dalam pemilu, Pilkada dan pilpres. Mereka sudah menentukan pemenang pemilu legislatif dan pemenang pilpres jauh sebelum pemilu dilaksanakan. Semua dalam rangka memuluskan jalannya reformasi yang membuat aliran keuangan mereka semakin lancar.
Oleh Pengamat Ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng