Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Di era Cina klasik (sebelum jadi komunis seperti sekarang) pegawai-pegawai tinggi istana kerajaan adalah orang-orang yang memelihara kehalusan budi.
Yang lulus dalam ujian kesusastraan, seperti membuat puisi yang sangat sulit. Selain harus pula memenuhi persyaratan intelegensia di atas rata-rata.
Mereka umumnya pejabat sekaligus penyair, seperti halnya di Jawa ada Eyang Ronggowarsito, pegawai tinggi istana Surakarta, yang oleh banyak pihak dianggap punya kemampuan meramal zaman.
Di masa Hayam Wuruk dan Jayabaya prasyarat seperti itu juga berlaku, pejabat tinggi istananya terdiri dari pujangga seperti Mpu Prapanca, Mpu Sedah, dan seterusnya.
Zaman bergerak, nilai-nilai pun berubah. Hari ini di Istana ada Ali Mochtar Ngabalin si tukang sembur, yang oleh banyak kalangan disebut bertabiat preman berkedok agama.
Otaknya keruh dengan premanisme dan pikiran jorok, sekeruh septic tank Ngabalin sendiri.
Demikian pendapat analis dan aktivis LSM Muhamad Nabil MA dan Zulfikar Shalahudin, seperti dikutip Konfrontasi Online.
Baru-baru ini Ngabalin kembali menyemburkan kata-kata kasar dan brutal yang memicu reaksi publik.
Ia merespon pernyataan tokoh nasional Dr Rizal Ramli yang bersedia membantu menyelesaikan masalah keuangan di PT Garuda Indonesia Persero dengan syarat mengubah presidential treshold menjadi nol persen.
Ngabalin malah menyebut Rizal Ramli menyimpan dendam karena di-reshuffle dan isi otaknya septic tank.
Padahal dalam negara demokrasi pernyataan Rizal Ramli tersebut merupakan hal lumrah dan seharusnya disikapi secara rasional.
Apalagi sebagai ekonom senior Rizal Ramli tentu memiliki solusi yang konkret, dan sebelumnya telah terbukti mampu menyelesaikan persoalan di tubuh Garuda dengan cara out of the box saat menjadi menteri keuangan di era Presiden Gus Dur.
“Bang Rizal Ramli jangan meladeni. Ngabalin itu cermin batin istana Jokowi yang kotor, sehingga memelihara Ngabalin,” tandas M Nabil, peneliti dari UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan pasca sarjana Driyarkara, Jakarta.
Menurutnya, Ngabalin sosok aparat yang tidak tahu malu. Kotornya batin Istana tercermin dari pernyataan kotor Ngabalin.
“Melihat Ngabalin menyerang kaum intelektual kritis, sangat menjijikkan,” tambah Zulfikar Shalahudin, aktivis sosial dan peminat filsafat dari NU kultural Aceh.
Menurut M Nabil, citra Jokowi dibuat rusak berat dengan gaya kasar dan brutalnya verbalisme Ngabalin.
Dan harusnya Presiden Jokowi menyadari bahwa hanya di era rezim saat ini staf Istana ngomong kotor dan kasar yang dapat membusukkan citra presiden.
[***]