KedaiPena.Com – Kekurangan kerap menjadi sebuah alasan untuk tidak berbuat sesuatu atau membantu sesama. Seringkali, hal tersebut menjadi satu langkah yang sangat berat untuk kita bergerak.
Namun hal tersebut, nampaknya tidak berlaku bagi seorang Gufron Yusri Mursyid, relawan dari Konsorsium Sahabat Merah Putih yang turut membantu korban gempa Lombok.
Gufron sendiri merupakan satu dari sekian banyak relawan yang hadir untuk membantu korban terdampak gempa, Lombok. Ia seorang difabel yang setiap harinya harus menggunakan tongkat untuk berjalan.
Ia bersama Konsersium Relawan Sahabat Merah Putih sedianya menjadi relawan di daerah Sembalun, Lawang Desa yang terletak di kaki gunung Rinjani. Kawasan tersebut merupakan tempat wisata strategis.
Lawang Desa diisi oleh mayoritas masyarakat yang religius serta pekerja keras dengan pertanian bawang, cabai, kentang serta strawberry.
Namun, mereka tidak menduga apabila gempabumi yang terjadi pada 5 Agustus 2018 dan terjadi lagi pada 19 Agustus 2018 membuat rumah, sekolah dan sarana publik mereka hancur.
Masyarakat yang tadinya aman tentram seketika dipusingkan dengan trauma gempa susulan. Hiruk-pikuk kehidupan di desa menjadi sunyi dan berpindah ke tenda-tenda yang dididirikan di atas area persawahan, yang notabene akan ditanami.
Si empunya lahan pertanian mengikhlaskan untuk didirikan tenda agar masyarakat bisa berlindung dari panasnya matahari dan dinginnya udara malam.
Gufron mengungkapkan, bergabung di dalam relawan untuk korban gempa Sembalun didasari keinginan dalam hati untuk membantu dan berbagi kepada sesama.
Ia mengaku banyak mendapatkan pelajaran dari para korban gempa Lombok. Salah satunya ialah, meski dalam kondisi kesusahan, masyarakat Sembalun Lawang Desa tetap giat untuk bekerja serta gemar gotong-royong.
“Sebagai contoh mereka membagikan hasil pertaniannya ke daerah Lombok Utara (KLU), agar beban masyarakat di sana bisa sedikit berkurang,†ujar Gufron saat dihubungi oleh KedaiPena.Com, ditulis Selasa (28/8/2018).
Tak hanya itu, cerita Gufron, keramahan masyarakat juga dirasakan oleh dirinya ketika bersama rekan-rekan relawan lainnya berjumpa. Masyarakat Sembalun, Lawung Desa murah senyum selalu menyapa dan kadang kerap meminta para relawan untuk mampir ke dalam tenda.
“Anak-anak di Sembalun Lawang juga membuat kami tim relawan selalu semangat dan ceria. Mereka mendatangi kami tiap pagi sampai sore, sekedar untuk bermain,†tutur dia.
“Tapi kami juga memberikan mereka kegiatan berupa ‘fun game’, belajar matematika dan bahasa Inggris. Hal ini kami tim lakukan karena hampir 1 bulan selama mereka libur sekolah. Dan anak-anak pun sangat antusias,†sambung dia.
Kegembiraan, tawa dan keakraban masyarakat Sembalun, lanjut Gufron, membuat kerinduan hati untuk kembali ke sana. Bahkan, hal ini turut diamini juga oleh sahabat relawan lainnya.
Selain menyimpan kerinduan hati yang mendalam untuk kembali ke Sembalun, Gufron juga mendapatkan sebuah pelajaran berharga yang bisa ia petik.
Pria asal Yogyakarta ini menceritakan dirinya menemukan dua anak yang mengalami kekurangan dalam hal fisik yaitu Nando anak dengan bibir sumbing tetapi selalu riang, jenaka, enerjik. Nando kerap membuat relawan tertawa dengan tingkahnya.
Sedangkan, anak yang kedua bernama Zonis, anak dengan ASD (Autistic spectrum disorder) dan yatim piatu. Anak ini bisa menerima komunikasi secara verbal.
“Zondi selalu menghibur kita dengan jogetnya ketika ada musik dari MP3 yang kita putar dari handphone,†tutur Gufron.
Dari kedua anak ini, kata Gufron, membuat semangat pribadinya meluap-meluap. Dari situ ia semakin yakin bahwa kekurangan bukanlah sebuah halangan untuk berkarya dan membantu sesama.
“Saya sendiri adalah difabel, ketika umur lima tahun mengalami kecelakaan dan dalam keseharian harus memakai tongkat untuk berjalan. Dalam diri saya tidak merasa mempunyai kekurangan, karena saya harus bisa bangkit dan berbagi kepada sesama,†ujar dia lagi.
Kedekatan Gufron bukan hanya kepada Nando dan Zondi saja. Selama di Sembalun, Gufron juga dekat dengan anak-anak yang lain.
“Mereka sudah saya anggap sebagai adik sendiri, bergaul bermain dan bercerita tentang keseharian mereka,†tutur dia.
Hal itu pula yang membuat, anak-anak di Sembalun kecewa ketika tahu dirinya harus pulang ke Yogyakarta. Kesedihan tampak terlihat dari raut wajahnya seolah-olah mereka tidak ingin di tinggalkan.
“Walau saya tidak lama disana tapi kedekatan hati yang mengikat kami. Apalagi masyarakat juga merasakannya, mereka ingin silaturahim ini jangan sampai terputus,†cerita dia.
Hal yang turut membuatnya ingin kembali ke Sembalun adalah perkataan salah satu warga desa yang rela memberikan rumahnya kepada tim untuk dijadikan posko.
“Pak Musipudin atau kawan-kawan relawan memanggil Pak Ochit. Beliau yang rumahnya diberikan kepada tim untuk posko. Ketika mengantar kami di bandara Praya selalu bilang, mainlah ke Sembalun jangan sampai tidak. Di sana ada rumah yang setiap waktu akan menerima kalian semua,†tutur dia.
“Mendengar kata-kata itu, dalam hati saya menangis. Meninggalkan mereka sangat berat, apalagi mereka belum pulih dari bencana. Tapi kita harus ‘rolling’ dengan sahabat yang lain untuk tugas mulia di Sembalun Lawang,†sambung dia.
Pemerintah Harus Tunjukan Aksi Nyata
Ada satu permintaan Gufron kepada pemerintah terkait dengan langkah-langkah yang harus dilakukan kepada para korban terdampak gempa Lombok ini.
Pemerintah, kata Gufron, tidak usah terlalu banyak berdebat baik soal anggaran untuk bantuan gempa Lombok atau bahkan terkait dengan penetapan status bencana nasional.
“Pemerintah cukup hanya dengan bisa mengajak komunikasi terhadap masyarakat, agar mereka bisa kembali seperti semula. Trauma akan gempa harus bisa diatasi, bukan sekedar memberikan bantuan saja,†tegas Gufron.
Gufron menyarankan langkah-langkah tersebut dapat dilakukan dengan mendatangi tenda dan menjelaskan kepada warga bahwa mereka harus bisa bangkit kembali.
“Lalu mendirikan tenda peleton untuk kegiatan belajar anak-anak yang selama ini hanya bermain. Anak-anak sebenarnya sudah ingin sekolah lagi, tapi mereka trauma untuk memasuki kelas,†tukas dia.
“Oleh sebab itu adakan kegiatan belajar di tenda-tenda agar mereka bisa hilang trauma, ketika adanya kegiatan. Karena, masyarakat butuh pendampingan langsung,†lirih Gufron.
Terakhir Gufron pun menyampaikan bahwa di setiap obrolan, para warga hanya berharap agar Lombok tidak akan mengalami gempa lagi.
Laporan: Muhammad Hafidh