KOMITE Pengawas Pelindo II dibentuk pada 1 Februari 2013. Tugasnya adalah menilai kontrak baru HPH untuk pengelolaan PT Jakarta International Container Terminal (JICT). Komite Pengawas Pelindo II beranggotakan sejumlah tokoh independen.
Ketua Komite Pengawas Pelindo II dipimpin oleh mantan Wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas serta beranggotakan mantan pimpinan KPK Chandra M. Hamzah, analis finansial senior Lin Che Wei, Ketua Dewan Pengurus Transparansi Internasional Indonesia (TII) Natalia Soebagjo hingga pengacara senior di bidang finansial, pasar modal dan pembangunan infrastruktur Ahmad Fikri Assegaf, dan pengamat ekonomi Faisal Basri.
Perpanjangan konsesi JICT dinilai oleh Komite Pengawas Pelindo II telah berjalan secara transparan dan memberikan keuntungan yang paling optimal bagi kepentingan Pelindo II dan Indonesia.
Sebagai contoh, kepemilikan saham Pelindo II di JICT kini menjadi mayoritas (51 persen). Pelindo juga mengantongi pendapatan dari sewa JICT senilai USD85 juta, naik dua kali lipat daripada kontrak sebelumnya.
Pelindo II juga tidak perlu membayar biaya technical know how sampai tahun 2019 yang besarnya mencapai USD41,3 juta. Dari perpanjangan ini, Pelindo II mendapat pembayaran uang muka senilai USD215 juta yang dapat digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur pelabuhan lainnya.
Faktanya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan indikasi kerugian keuangan negara pada proyek yang dilaksanakan PT Pelindo II minimal sebesar USD306 juta atau ekuivalen Rp 4,08 triliun (kurs Rp13.337 per USD).
Temuan ini merupakan hasil pemeriksaan investigatif atas perpanjangan kerja sama pengelolaan PT JICT.
Pemeriksaan BPK ini dilakukan untuk menindaklanjuti surat dari DPR RI Nomor PW/02699/DPR RI/II/20l6 tanggal 16 Februari 2016 kepada Ketua BPK tentang Pengajuan Permintaan Pemeriksaan Investigatif Hasil Temuan Pansus Angket Pelindo II atas Perpanjangan Perjanjian Kerja Sama Pengelolaan dan Pengoperasian PT JICT antara PT Pelindo II dengan Hutchison Port Holding (HPH).
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut, BPK menyimpulkan adanya indikasi berbagai penyimpangan dalam proses perpanjangan perjanjian kerja sama pengoperasian PT JICT yang ditandatangani 5 Agustus 2014.
Cara-cara untuk memperpanjang kontrak kerja sama tersebut terindikasi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Indikasi kerugian negara ditemukan akibat adanya perpanjangan kontrak pengelolaan JICT oleh Pelindo II kepada HPH pada tahun 2015.
Padahal, kontrak pengelolaan JICT baru selesai pada tahun 2019. Dengan demikian, HPH akan kembali mengelola JICT hingga tahun 2039.
Bahkan, perpanjangan kontrak ini tidak ada di dalam rencana kerja, tanpa melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dan sebagainya. Lalu, langsung diketok palu perpanjang kontrak pengelolaan JICT pada tahun 2015 sampai tahun 2039.
Padahal, kontrak Pelindo II dengan HPH habis tahun 2019. Kalau kontrak kerja sama pengelolaan JICT tidak diperpanjang hingga tahun 2019, maka JICT 100 persen milik Indonesia. (*)
Oleh Masinton Pasaribu, Anggota Pansus Angket Pelindo II