KedaiPena.com – Proyeksi menghapuskan Premium dan Pertalite dengan alasan upaya menciptakan ekosistem energi hijau seharusnya diselaraskan dengan kemampuan daya beli masyarakat. Mempercepat penghapusan tanpa mempertimbangkan daya beli sama saja dengan menempatkan masyarakat dalam kondisi yang lebih sulit.
Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menjelaskan bahwa penghapusan BBM Premium dan Pertalite sangat tergantung pada keberanian Presiden memutuskannya dengan segala konsekwensi yang mengikuti di belakang kebijakan tersebut.
“Sulit. Mengingat, BBM Premium itu harganya sangat terjangkau oleh rakyat bawah, digunakan sebagai angkutan umum dan angkutan barang di kota-kota hingga desa-desa,” kata Yusri saat dihubungi, Jumat (31/12/2021).
Ia juga menyampaikan dengan kondisi pandemi selama dua tahun ini, yang menyebabkan daya beli masyarakat menurun jauh, penghapusan BBM Premium dan Pertalite akan semakin menurunkan daya beli masyarakat.
“Penghapusan BBM Premium dalam jangka waktu dekat tentu akan beresiko menimbulkan gejolak harga kebutuhan pokok dan berpotensi mengakibatkan gejolak sosial masyarakat di bawah yang lagi terpuruk daya belinya. Itu hampir pasti,” ungkapnya.
Faktor lainnya, proyek Refinery Develoment Master Plan (RDMP) untuk kilang-kilang Pertamina, belum ada yang beroperasi hingga saat ini.
“Paling cepat beroperasi pada tahun 2023 untuk kilang Balikpapan, sementara Kilang yang ada sejak dulu memang dirancang untuk memproduksi banyak Premium dan Solar, sebagian Pertamax untuk kalangan mampu,” ungkapnya lagi.
Yusri menjelaskan Premium merupakan percampuran 80 persen High Octane Mogas Component (HOMC) dengan 20 persen light Naftha ekses dari kilang-kilang.
“Malah, jika Premium dan Pertalite segera dihapus, sementara kilang RDMP belum ada yang beroperasi, saya pastikan impor Pertamax akan meningkat tajam, sudah pasti importir akan berpesta pora,” kata Yusri.
Jika itu terjadi, maka Light Naptha ekses kilang menjadi beban Pertamina, karena kilang Olefin belum terbangun, dan unit isomerisasi belum tersedia disemua kilang. Hanya di kilang unit Cilacap dan Balongan yang mampu mengkonversi octan Light Naptha 60 an menjadi 84 sampai 85 sehingga jadi produk bernilai.
Selain itu, akibatnya yield gasoline akan turun signifikan dengan hilangnya fraksi Light Naptha, kemudian bagaimana dengan fraksi lainnya, misal Solar yang sekarang sudah ada penambahan Fame, ini semua akan berdampak pada produksi gasoline.
“Jika membicarakan kemampuan, saya perkirakan baru pada tahun 2025. Selain karena menunggu perbaikan data beli masyarakat juga sekaligus mempersiapkan Pertamina,” tuturnya.
Pemerintah, lanjutnya, jika ingin melakukan transisi ke Energi Baru Terbarukan, haruslah mempersiapkan BBM yang memiliki oktan tinggi tapi dengan harga yang terjangkau.
“Pikirkan dulu kemampuan daya beli masyarakat baru pikirkan tentang dampak kesehatannya. Karena masyarakat juga saat ini belum mampu untuk membeli kendaraan mahal yang mengadopsi energi bersih. Jadi, persiapkan BBM murahnya dan juga kendaraannya dulu,” pungkasnya.
Laporan : Natasha