KedaiPena.com – Mencuatnya temuan Kordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman terkait kelebihan alokasi ekspor batubara PT MHU sebanyak 8,2 juta metrik ton, disinyalir beririsan dan terkait langsung dengan Konsorsium 303 Sambo. Kelebihan alokasi ekspor itu pun ditaksir berpotensi merugikan negara hingga Rp9,3 triliun.
“Kita menduga oknum aparat penegak hukum dan koboi senayan ada di belakangnya Konsorsium 303 ini, makanya sulit bisa dibongkar kasus ini jika Presiden Jokowi tidak tegas memerintahkan semua penegak hukum untuk serius usut secara tuntas,” kata Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, ditulis Jumat (30/9/2022).
Ia mengutip salah satu pemberitaan yang mempublikasi sebuah bagan atau flow chart di media sosial yang menunjukkan nama dan peran orang-orang yang diduga terlibat dalam suatu jaringan bisnis ilegal.
Dalam bagan tersebut, tercatat sejumlah desas-desus bisnis ilegal yang mencuat dalam konsorsium 303 meliputi prostitusi, perjudian, solar subsidi, penyelundupan suku cadang palsu, tambang ilegal, hingga minuman keras. Sejumlah personil oknum Polri disebut terlibat dalam konsorsium tersebut.
“Beredarnya bagan flow chart Konsorsium 303 itu menyebutkan antara lain juga terkait tambang ilegal. Kami menduga bahwa kelebihan ekspor PT MHU tersebut juga terkait dengan Konsorsium 303, itu yang harus diungkap oleh penegak hukum,” ucapnya.
Ia menegaskan bahwa kelebihan ekspor 8 juta metrik ton itu bukan angka kecil.
“Bagaimana mungkin sama sekali tidak diketahui oleh penegak hukum setempat?. Kalau diumpamakan satu kali dump truk pengangkut itu membawa 30 ton batubara saja, berarti ada 266 ribu kali lebih pengangkutan hilir mudik dari lokasi tambang ke jetty. Bagaimana bisa tidak terdeteksi? Apa laporan MAKI bodong? Maka kami menduga kuat memang ada operator konsorsium 303 didalam permainan untuk memuluskan praktek ilegal di pertambangan ini,” ucapnya lagi.
Yusri membeberkan, ia memperoleh keterangan, mulusnya ekspor ilegal PT MHU itu terjadi lantaran RKAB PT MHU dibuat seolah-olah tidak kunjung mencapai kuota resmi 14 juta metrik ton itu.
“Jadi kami menduga, setiap pengiriman tersebut didata di SIMPONI Dirjen Minerba, lalu dihapus, lalu diinput lagi, sehingga belakangan mulai terendus ada kelebihan ekspor PT MHU sebanyak 8 juta metrik ton lebih di luar kuota resmi 14 juta metrik ton, yaitu konon katanya tercatat di Kantor Syahbandar Otoritas Pelabuhan mencapai sekitar 22 juta metrik ton,” paparnya.
Yusri lantas mengutarakan, dugaan praktek tambang ilegal tersebut, yang juga diduga terkait dengan Konsorsium 303, merupakan kejahatan serius yang segera harus ditindak oleh negara, bila perlu UU Subersif diterapkan, karena bisa merusak perekonomian negara.
“Apalagi kejahatan semacam ini bukan delik aduan. Jadi aparat penegak hukum harus segera bertindak, bisa jadi ini kotak pandora membuka kasus oleh penambang lainnya, termasuk dugaan praktek transfer pricing yang pada tahun 2019 data datanya telah dikumpulkan oleh KPK,” kata Yusri.
Aparat penegak hukum menurut Yusri harus segera melakukan audit forensik mulai dari proses pengurusan IUP eksplorasi, kemudian peningkatan menjadi IUP Operasi Produksi, dilanjutkan proses persetujuan RKAB dan izin lingkungan serta realisasi DMO (Domestic Market Obligation) untuk pembangkit PT PLN yang sempat krisis dan rekomendasi ekspor yang dari awal sampai dengan akhir, termasuk perpanjangan ijin kontrak karya (KK) menjadi IUPK untuk batubara maupun mineral.
“Kami dari koalisi Penjaga Pengelolaan Sumber Daya Alam sejak awal gencar menolak perubahan UU Minerba No 4 tahun 2009 menjadi UU Minerba No 3 tahun 2020 oleh DPR RI dan Pemerintah, khususnya penghilangan pasal 75 yang berakibat terminasi 7 tambang PKP2B seharusnya bisa dikelola BUMN dan BUMD, akhirnya tetap diperpanjang oleh taipan atau oligarkhi batubara, ironis memang,” ungkapnya.
Lebih lanjut Yusri mengatakan tahapan proses tersebut merupakan ‘lahan basah’ yang sangat bisa disalahgunakan oleh oknum pejabat di Ditjen Minerba berkongkalikong dengan elit elit politik dan oknum aparat.
“Apalagi, temuan MAKI itu juga menyebut-nyebut inisial DO sebagai penanggung jawab pengelola MOMS atau operator IT yang bisa merubah data di SIMPONI dan MODI, itu sudah seperti berburu di kebun binatang bagi penegak hukum yang serius mau menyikapinya, tinggal kita menonton apakah aparat penegak hukum masuk angin atau tidak,” ungkapnya lagi.
Yusri juga meminta untuk ditelisik apa faktor penyebab masih ada ratusan penambang hingga akhir September 2022 yang sudah memiliki IUP OP (Operasi Produksi) dan telah mengajukan pengesahan RKAB di Ditjen Minerba belum disetujui.
“Ini kacau benar bagi pengusaha yang serius menambang jika dikenakan kewajiban harus ada persetujuan oleh CPI (Competent Person Indonesia) yang dikordinir oleh IAGI dan PERHAPI,” kata Yusri.
Lebih lanjut Yusri mengatakan, kejadian yang dilaporkan MAKI tersebut terjadi pada tahun 2021, sebelum ada rangkap jabatan Dirjen Minerba atau ‘matahari kembar’ di Ditjen Minerba.
“Jika di tahun 2022 apa tidak lebih parah?” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa