KedaiPena.com – Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman, mempertanyakan pernyataan Dirjen Migas Tutuka Ariadji yang dinilai tanpa dasar memaksa Vivo menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) Vivo 89 adalah sikap arogansi dan melanggar hukum.
Hal ini berawal dari banyaknya masyarakat yang membanjiri SPBU Vivo di Jabodetabek untuk mencari Vivo 89 yang dijual lebih murah dari Pertalite, paska pengumuman kenaikan BBM oleh Presiden Jokowi pada Sabtu (3/9/22) siang.
“Vivo89 itu adalah jenis BBM umum. Apa hak pemerintah melalui Dirjen Migas meminta Vivo menaikkan harga Revvo 89? Apakah ini jenis BBM bersubsidi? Kalau bukan, merupakan hak Vivo turunkan harga dengan pertimbangan bisnis. Ada perusahaan ‘obral’, kenapa dilarang? Jika itu katanya stok lama di saat harga minyak dunia di atas USD 100 perbarel, apa malah bukan menegaskan bahwa BBM Pertamina memang tidak efisien?” kata Yusri saat dihubungi, Senin (5/9/2022).
Yusri mengutarakan, pemerintah melalui Dirjen Migas Kementerian ESDM, jika mengacu pada Perpres 191 tahun 2014, tidak berwenang melarang perusahaan Vivo menjual BBM jenis Revvo 89 hanya Rp8.900 per liter.
“Harga Vivo 89 itu mengkonfirmasi bahwa harga keekonomian BBM sejenis Pertalite hanya berkisar Rp8.500 per liter, jadi alasan Dirjen Migas bahwa Vivo menjual harga Vivo 89 di bawah harga Pertalite yang sudah disubsidi adalah tak masuk akal sehat. Baru pertama sekali saya mendengar alasan seperti ini,” ungkapnya.
Oleh sebab itu, kata Yusri, sebaiknya Pertamina dilarang berbisnis Pertalite, karena harga keenomiannya Rp17.100 per liter yang tak masuk akal.
“Patut dicurigai harga itu banyak ‘pungutan sambo’. Harusnya Dirjen Migas bentuk tim audit telisik ketidak efisienan Pertamina dari hulu ke hilir. Pak Dirjen juga sebagai Komisaris di Subholding Pertamina gak paham?” kata Yusri tegas.
Lebih lanjut Yusri mengatakan, jika harga keekonomian Vivo 89 jauh di bawah keekonomian Pertalite yang katanya Rp17.100 per liter, supaya tidak menjadi beban pemerintah dan rakyat, sebaiknya Kementerian ESDM menugaskan Vivo untuk menjual BBM sejenis Pertalite di seluruh Indonesia.
“Biar Pertamina fokus jual BBM umum seperti Pertamax 92, Pertamax Turbo, Dexlite dan Pertadex. Itupun Harga Pertamax 92 masih disubsidi Pertamina Rp4.500 per liter, meskipun sudah dinaikan oleh pemerintah menjadi Rp14.500 per liter,” ujarnya.
Yusri menegaskan, Vivo jual BBM seharga Rp8.900 sudah pasti untung, sedangkan Pertamina jual Rp10.000 malah masih disubsidi Pemerintah Rp7.200, karena harga keekonomiannya katanya Rp 17.100.
“Pecat saja Direksi dan Komisaris Pertamina yang gajinya gila-gilaan, Rp3 miliar hingga Rp5.6 milyar per bulan atau memang akibat Menteri BUMN yang salah pilih Direksi? Oleh sebab perlu dikocok ulang seluruh jajaran Direksi di Holding dan Subholding Pertamina,” ujarnya lagi.
Lagipula, lanjut Yusri, Vivo Energy merupakan perusahaan di bawah PT Nusantara Energy Plant Indonesia.
“Pemegang sahamnya Vitol ltd, berbasis di negara Swiss termasuk trader besar dunia selain Travigura dan Glencore. Vitol adalah pemasok besar minyak mentah dan BBM serta LPG ke Pertamina,” kata Yusri lebih lanjut.
Pada Juni 2019 CERI mendeteksi ada dugaan ‘hengki pengki’ dalam tender pengadaan kontrak LPG selama 5 tahun di ISC (Intergrated Supply Chain) Pertamina.
“Katanya, sejak awal Vitol Singapore dan BGN Turki diduga diatur sebagai pemenang tender, tampaknya dugaan itu belakangan terbukti memang kedua perusahaan itu sebagai pemenangnya,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa