MOMENTUM bersejarah skala nasional dan teramat penting bagi bangsa ini akan segera dimulai. Kurang lebih sekitar satu tahun dikurang satu bulan pemilihan kepala daerah serentak akan dilaksanakan. Perhelatan akbar yang terbilang baru dan perdana ini dilaksanakan di 7 provinsi, tepatnya di 94 kabupaten dan kota, dengan lebih dari ratusan desa. Hajat 5 tahunan ini tentunya menjadi perhatian besar bagi masyarakat karena disanalah berdiri tegak suatu harapan yang kemudian samar dengan ramainya pencitraan.
Berbicara mengenai momen nasional, maka mata akan sangat panas untuk tidak melirik ibukota. Ya, Jakarta menjadi salah satu wilayah yang terlibat dalam pesta demokrasi akbar ini. Tidak berlebihan jika dikatakan apa yang terjadi di Jakarta merepresentasikan kondisi yang berlangsung di Indonesia.
Dengan segala kemewahan, kemudahan akses, dan ‘perhatian lebih’ yang diberikan oleh pimpinan pusat maupun masyarakat daerah, maka sangat layak jika Jakarta dibidik untuk dikaji segala aspeknya, khususnya pemilu kepala daerah.
Pada dasarnya dengan segala kelebihan yang dimiliki dan dirasakan oleh Jakarta, seharusnya kita tidak menemukan atau paling tidak sedikit temuan mengenai permasalahan dalam persiapan maupun pelaksanaan pemilihan umum. Namun, dalam beberapa evaluasi terdapat beberapa indikasi dan celah sengketa dalam pemilihan umum di wilayah Jakarta.
Persiapan pemilihan umum kepala daerah tahun 2017 nanti sudah dilakukan dari saat ini pada tahap studi banding, kemudian secara resmi akan dilaunching jadwalnya pada fase persiapan pada bulan April. Menurut Ketua KPUD Jakarta (16/3), Sumarno, adanya undang-undang yang mengatur bahwa segala kebijakan KPU dalam melaksanakan fungsinya harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari DPR, bersifat dilematis.
Pasalnya, undang-undang ini menuntut peran lebih dari pemerintah, dalam hal ini kekuasaan legislatif untuk secara langsung mengontrol proses jalannya pemilu. Namun, dilema muncul ketika sampai saat ini usulan rancangan program pemilu yang diusulkan oleh KPU belum disahkan, bahkan belum dibahas oleh DPR.
Hal ini mencemaskan karena khawatir akan menghambat proses jalannya pemilu. Alur waktu, susunan kegiatan, bahkan hingga akses-akses publik dan sosialisasi yang dapat diakses masyarakat secara terbuka belum mampu dilaunching, karena undang-undangnya belum disahkan. Seharusnya, DPR mampu untuk bersikap proaktif dan gesit dalam membahas dasar hukum ini demi tertibnya jadwal dan segala peraturan yang dibuat oleh KPU.
Temuan kedua di Jakarta yaitu fenomena pengumpulan KTP oleh calon yang telah mendeklarasikan dirinya melalui jalur independen. Banyak masyarakat yang menuntut dan menuding bahwa tindakan ini adalah tindakan ‘mencuri start’ dan melanggar hukum. Hal ini jelas tidak tepat, karena calon melaksanakan kegiatan hukum sebelum hukum tersebut disahkan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, walaupun KPU telah merancang dengan lengkap mengenai syarat, jadwal, hingga sanksi pemilu, namun jika dasar hukum ini belum disahkan oleh DPR, maka semuanya menjadi sah-sah saja, karena berdiri pada hukum yang belum tegak.
Artinya, semua orang di Indonesia dapat mendeklarasikan dirinya sebagai calon kepala daerah, dapat mengumpulkan KTP warga negara Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri, dan bahkan memasang spanduk promosi pencalonan, hanya karena dasar hukumnya belum berdiri tegak.
Kelemahan hukum inilah yang mampu menjadi celah terjadinya tindakan-tindakan ‘aneh’ bahkan sebelum rangkaian pemilu ini dimulai. Kita tidak pernah tau ketika proses pengumpulan KTP ternyata ada praktik money politic disana. Misalnya, dengan memberikan KTP dukungan terhadap calon, maka orang tersebut akan mendapatkan uang, sembako, dan bingkisan lainnya.
Atau mungkin KTP yang dikumpulkan merupakan pembelian dari mafia dan broker politik, yang dengan kemajuan teknologi saat ini sangat mudah membuat KTP secara ‘sim salabim’. Dalam hal seperti ini, Bawaslu pun tidak mampu berbuat apa-apa, karena hukum yang belum berdiri tegak karena belum disahkan.
Dua temuan tersebut ditemukan di Jakarta, yang lagi-lagi menjadi representasi republik ini. Dan mungkin saja kejadian tersebut terjadi di wilayah lain. Hal yang lebih mengerikan juga muncul dalam kasus dana kampanye. Selama hukum belum disahkan, maka setiap calon bebas mendapatkan dana kampanye yang nominalnya boleh tidak sesuai dengan undang-undang. Namun di Jakarta, terdapat penemuan unik terkait dana kampanye.
Salah satu calon yang telah mendeklarasikan dirinya menerima dana kampanye yang sangat besar dari satu perusahaan ternama di Indonesia. Baru satu perusahaan saja, dana yang diperoleh mencapai 4,5 M. Jika merujuk pada dasar hukum yang belum disahkan, maka sah-sah saja hal ini dilakukan.
Namun, nyatanya calon ini merupakan pejabat publik yang dalam hal ini terindikasi mendapatkan gratifikasi. Jelas hal ini melanggar undang-undang, dan sudah sepatutnya kasus ini ditindak dan diselidiki secara matang oleh lembaga terkait seperti KPK. Sebelum ada gratifikasi lainnya apabila calon ini terpilih menjadi DKI satu.
Temuan ketiga di Jakarta menujukan data kependudukan yang belum rapih dan mutakhir. Kasus ini berdampak pada simpang siurnya hak memilih dari penduduk di wilayah tersebut. Misalnya, ketika terjadi penggusuran di Kalijodo, kemudian penduduk dipindahkan ke wilayah lain, apakah kepindahannya tersebut diiringi dengan kepindahan di identitasnya ? Lantas ketika pemilu nanti, di TPS manakah warga tersebut terdata?
Bahkan untuk urusan E-KTP dari kementerian dalam negeri periode sebelumya sampai saat ini masih terdapat penduduk yang belum mendapatkannya. Belum lagi jika area penggusuran tersebut dijadikan apartemen, yang menurut ketua KPUD Jakarta, arogansi tinggi dan akses ke penghuni apartemen sangat sempit dengan mengedepankan privasi, sehingga proses pendataan dan pemutakhiran DPT terhambat.
Buruknya, penghuni apartemen ini kelak akan menuntut hak pilihnya, padahal ketika proses pendataan mereka yang menuntut untuk privasinya tidak diganggu. Jakarta sudah kehilangan sikap asasi kemasyarakatannya yang gotong royong.
Permasalahan kependudukan ini juga mempengaruhi proses pemilu khususnya dengan munculnya mobilisasi masa menjelang akhir hari pencoblosan. Hal ini ditemukan di tahun 2012 lalu. Menjelang akhir pencoblosan tiba-tiba muncul masa yang sangat banyak menuntut hak pilihnya dengan membawa KTP sim salabimnya.
Jika permasalahan kependudukan ataupun pola penertiban penduduk yang tidak mempertimbangkan baik buruknya ini masih berlangsung, dapat dipastikan di pemilukada 2017 nanti akan banyak mobilisasi masa yang lahir dari 1 kardus mie instan dan minyak goreng. Terlebih menurut data, permasalahan pemilu yang terbesar sampai saat ini ialah money politik.
Analisis-analisis ini semoga dapat membuka mata masyarakat agar menjadi pemilih yang cerdas dan partisipatif. Bukan yang kritis kemudian apatis dan pasif. Berharap analisis ini juga mampu menyadarkan para pucuk pimpinan pemegang kekuasaan untuk mampu menunaikan amanahnya sedangan sebenar-benarnya dan sebaik-baiknya, demi kesejahteraan bersama bangsa Indonesia, khususnya wilayah Jakarta.
Pastikan 15 Februari 2017 nanti menjadi momentum kebangkitan dan perjuangan baru bagi rakyat Indonesia yang ada di 7 provinsi terkait untuk bersama membangun daerah dengan pemimpin amanah yang dimilikinya, sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat dan demi tegaknya kejayaan, kemuliaan, dan terwujudnya cita-cita kemerdekaan.
Oleh Bagus Tito Wibisono, Koordinator Pusat BEM Seluruh Indonesia, Ketua BEM UNJ