KedaiPena.com – Dari beberapa kejadian kecelakaan di jalan raya yang ramai diberitakan beberapa waktu belakangan ini, dinyatakan perlu dilakukan perubahan dalam pengelolaan jalan raya dan melibatkan seluruh stakeholder untuk menjamin keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan raya.
Salah satunya adalah pencegahan kecelakaan melalui langkah aktif penegak hukum dan pengelola terminal dalam melakukan pemantauan kelaikan dan kesiapan pengemudi bus. Termasuk juga penyedia infrastruktur jalan raya.
Pengamat Transportasi Bambang Haryo Soekartono (BHS) menilai masalah yang terjadi dalam beberapa hari terakhir berkaitan dengan bus pariwisata, tak bisa sepenuhnya dibebankan pada Kementerian Perhubungan maupun pemilik usaha bus transportasi saja.
“Memang Kementerian Perhubungan adalah regulator-nya, yang mengeluarkan peraturannya. Tapi untuk pengawasannya, itu bukan tanggung jawab Kemenhub tapi ada Kepolisian sebagai penegak hukumnya,” kata BHS, Kamis (30/5/2024).
Ia menegaskan dalam dunia transportasi, dikenal dengan aturan keselamatan, yang stakeholdernya bukan hanya pemerintah dalam fungsinya sebagai pembuat aturan yaitu Kementerian Perhubungan tapi juga pemerintah dalam fungsinya sebagai penegak hukum yaitu kepolisian, pemerintah sebagai fasilitator yaitu dinas perhubungan daerah dan pengelola terminal, pemerintah sebagai penyedia infrastruktur yaitu Kementerian PUPR, operator atau pemilik usaha, yang dalam artian mulai dari pengemudi, mekanik yang bekerja di usaha tersebut hingga pucuk pimpinannya, hingga para pengguna jasa transportasi.
“Sesuai dengan UU 22 tahun 2009, semua pemangku kepentingan itu bertanggungjawab atas semua yang terjadi di jalan raya dan angkutan jalan. Misalnya, pengelola terminal bus itu harus bisa menjalankan fungsinya sebagai pihak yang mengecek kondisi kendaraan bus dan keamanan para penumpang,” ungkapnya.
Seharusnya, lanjut BHS, di terminal itu juga ada pengecekan pada para penumpang apakah mereka membawa benda tajam atau tidak. Dan pengelola terminal juga harus mengecek bus yang ada di dalam terminal itu laik jalan atau tidak.
“Kan tidak bisa kalau mereka hanya terima uang dari bus tanpa melakukan pengecekan apa-apa. Mereka bisa mengecek di aplikasi yang dikeluarkan oleh Kemenhub, apakah bus tersebut boleh jalan atau tidak. Sama halnya dengan kepolisian selaku penegak hukum, mereka seharusnya bisa secara aktif melakukan pengawasan melalui aplikasi yang tersedia. Apalagi mereka punya akses pantauan lewat satelit, untuk mengetahui apakah bus yang tidak laik jalan tersebut, ada di mana,” ungkapnya lagi.
Dan, harus diakui juga bahwa infrastruktur jalan raya di Indonesia, belum optimal dalam menjamin keselamatan para pengguna jalan.
“Mulai dari lebar jalan, jalur jalan raya, penerangan jalan yang sudah ada ketentuan lumen-nya, kontur jalan terkait grade atau kekuatan jalan tersebut, kemulusan jalan raya, hingga rambu-rambu jalan raya, masih banyak kekurangannya. Belum lagi jika kita bicara steril jalan raya, dimana jarak antara jalan dengan bangunan di pinggir jalan itu jaraknya terlalu dekat. Sehingga, potensi, orang atau binatang menyeberang jalan itu masih sangat besar. Kalau di Indonesia kan jalannya meriah,” kata BHS.
Konsumen atau pengguna jasa transportasi memang ada peran dalam memastikan keselamatan perjalanan tapi bukan sebagai pemantau kelaikan kendaraan.
“Coba bandingkan pada transportasi laut maupun udara. Tidak ada kan penumpang yang mantau apakah pesawat atau kapal laut yang dia gunakan itu laik berlayar atau laik terbang. Itu semua sudah dipastikan oleh pengelola pelabuhan atau bandara. Mereka sudah membayar untuk mendapatkan kepastian keselamatan tersebut. Tapi tentunya penumpang bus bisa berperan dalam mengingatkan pengemudi jika mengemudi ugal-ugalan atau jika terlihat mengantuk,” urainya.
Stakeholder lainnya adalah pengemudi bus transportasi, yang harus diakui saat ini mengalami masalah dalam jumlah.
“Saat supir bus pariwisata itu mengalami kekurangan jumlah, maka muncul supir dadakan, yang selama ini bukan membawa bus pariwisata, mengisi kebutuhan tersebut. Misalnya, supir truk yang sedang libur, karena musim libur, kebutuhan supir tinggi, mereka menggantikan. Padahal saat mereka libur itu, kan artinya pemilih usaha memberikan waktu untuk mereka beristirahat. Istirahat kerja itu sangat penting dalam menjaga kebugaran tubuh mereka selama melakukan tugasnya. Kalau mereka kecapekan, potensi kecelakaan itu sangat besar terjadi,” urainya lagi.
Ia menegaskan sudah saatnya, Indonesia juga menerapkan kewajiban bagi para pengemudi bus pariwisata memiliki sertifikasi keselamatan dan kenyamanan.
“Karena penumpang manusia itu berbeda risikonya dengan barang ya. Manusia itu punya kecenderungan bergerak, berbeda dengan barang. Dan kalau terjadi sesuatu, maka pengemudi dan keneknya harus memahami apa yang harus dilakukan untuk menjamin keselamatan penumpangnya,” kata Politisi Gerindra ini.
Laporan: Ranny Supusepa