Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, akademisi Universitas Bung Karno (UBK).
Jangan lebih besar pasak daripada tiang. Ini adalah kebijaksanaan yang diwariskan oleh nenek moyang Bangsa Indonesia kepada kita semua untuk selamat dalam melalui hidup.
Nasihat ini cocok untuk siapa saja. Saya, saudara, kita semua, tentu termasuk juga pemerintah yang mengelola
keuangan.
Namun, sepertinya yang terjadi saat ini keuangan Negara yang dikeola oleh Pemerintah sudah sangat-sangat “lebih besar pasak daripada tiang”.
Penerimaan Negara tidak mencukupi untuk membiayai belanja Negara. Demi memuaskan nafsu belanja, Pemerintah harus berutang dengan bunga yang sangat tinggi, mencekik. Bunga tinggi, seperti bunga di tengkulak.
Bagaimana tidak? Proyeksi Penerimaan Negara tahun 2022 hanya Rp 1.840 triliun. Padahal Belanja negara diproyeksikan sebesar Rp 2.708 triliun, jauh di atasnya.
Apa yang menyebabkan penerimaan Negara diproyeksikan tertekan tahun depan?
Pertama, lahirnya PP 30/2020 dan lemahnya inovasi sebabkan penerimaan pajak tertekan meski ekonomi terus tumbuh.
Dalam dokumen RAPBN tahun 2022 diproyeksikan penerimaan pajak tahun 2022 akan ada di kisaran Rp 1.506 triliun (8,4 persen PDB).
Nilai ini masih di bawah penerimaan pajak tahun 2018 dan 2019, berturut-turut sebesar Rp 1.518 triliun (10,2 persen PDB) dan Rp 1.546 triliun (9,7
persen PDB).
Penerimaan pajak yang sangat rendah, terutama bila dibandingkan dengan PDB (tax ratio) adalah karena langkah pemerintah sendiri (melalui PP 30/2020) yang menurunkan tarif PPh badan dari sebelumnya 25% menjadi 22% di tahun 2021 dan selanjutnya menjadi 20% di tahun 2022.
Penerimaan PPh tahun 2022 direncanakan hanya Rp 680 triliun. Jauh di bawah penerimaan PPh tahun 2018 dan 2019 (sebelum adanya PP 30/2020) yang berturut-turut sebesar Rp 750 triliun dan Rp 772 triliun.
Selain itu, lemahnya inovasi pemerintah menemukan sumber pendapatan pajak
baru juga menyebabkan penerimaan pajak tertekan.
Pemerintah seharusnya mulai membidik pajak pendapatan kapital (capital gain tax), saat ini pajak capital gain relatif tidak ada, terutama untuk
transaksi pasar keuangan (saham dan surat utang).
Padahal potensi pertambahan pajak capital gain dapat mencapai Rp 100-an triliun setiap tahun bila dilaksanaan dengan efektif.
Kedua, UU Cipta Kerja akibatkan penerimaan PNBP anjlok di tengah tingginya harga batubara.
Dalam dokumen RAPBN tahun 2022, diproyeksikan PNBP tahun 2022 hanya akan di kisaran Rp 333 triliun.
Lebih rendah dari PNBP tahun 2020 dan 2021 yang berturut-turut Rp 343 triliun dan Rp 357 triliun.
Dan jauh lebih rendah lagi dari PNBP tahun 2018 dan 2019, yang stabil di Rp 409 triliun.
Padahal harga komoditi (batubara) naik sangat drastis saat ini dan diperkirakan tetap akan stabil tinggi hingga tahun depan.
Anjloknya penerimaan PNBP di saat ini diakibatkan oleh berlakunya UU Cipta Kerja yang membebaskan perusahaan batubara dari kewajiban membayar
royaltinya dengan syarat melakukan hilirisasi batubara (yang saya kira hanya gimmick belaka!).
Padahal seandainya tidak ada UU Cipta Kerja, bukan tidak mungkin di tengah tingginya harga batubara (yang mencapai US$ 170/ton saat ini) penerimaan PNBP tahun 2022 dapat kembali menyentuh Rp 400-an triliun, menyentuh capaian tahun 2018 dan 2019.
Pemerintah Indonesia kehilangan kesempatan untuk meningkatkankan penerimaan di tengah momentum tingginya harga batubara.
Sementara, dalam sisi spending, pemerintah tetap bernafsu untuk menyelesaikan proyek infrastruktur, yang menguras anggaran Negara Rp 384 trilliun. Meskipun nilai ini sedikit turun dari tahun 2021 Rp 417 triliun.
Bagaimanapun, kami tetap menyarankan kepada Pemerintah untuk
mengalihkan anggaran infrastruktur lebih besar lagi untuk meningkatkan anggaran kesehatan. Jangan malah Pemerintah memotong anggaran kesehatan.
Anggaran kesehatan tahun 2022 diproyeksikan Rp 255,3 triliun. Turun dari anggaran tahun 2021 yang sebesar Rp 326 triliun.
Sepertinya pemerintah terlalu percaya diri tahun depan Indonesia sudah terbebas dari pandemi.
Semoga keyakinan Pemerintah ini terbukti tahun depan. Karena jika tidak terwujud, maka korbannya adalah pertumbuhan ekonomi.
Karena bila sampai tahun depan pandemi Covid di Indonesia belum selesai, maka harapan untuk mendapatkan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen di tahun depan sepertinya harus dikubur.
Jangan juga jatah kaum petani dan UMKM malah ikut dipotong. Subsidi non-energi turun dari (outlook) tahun 2021 sebesar Rp 120 menjadi Rp 72 triliun turun di tahun 2022, turun Rp 48 triliun.
Subsidi yang dipotong ini terutama adalah subsidi pupuk dan bunga kredit. Sementara, anggaran untuk pembayaran bunga utang melonjak 15 persen menjadi Rp 405 triliun di tahun 2022.
Nilai pembayaran bunga utang di tahun depan sudah hampir dua kali lipat pembayaran bunga utang tahun 2017 (Rp 216 triliun).
Jadi salah satu kenang-kenangan Menkeu Sri Mulyani selama menjabat adalah melipat gandakan jumlah pembayaran bunga utang pemerintah.
Sebagai akibat bunga utang yang besar ini, keseimbangan primer masih mengalami defisit yang sangat besar
minus Rp 462 triliun di tahun 2022.
Ekonomi Negara (tahunan) diproyeksikan tumbuh 5 persen di tahun depan, tapi bunga utangnya
tumbuh tiga kali lipatnya: 15 persen setahun. Seperti berutang ke tengkulak saja.
[***]