NAIKNYA tensi pemberantasan terorisme secara global telah menaikkan tren penggunaan metode-metode penyadapan, intersepsi komunikasi, maupun bentuk-bentuk surveillance lainnya. Dengan alasan untuk memudahkan pengungkapan kasus-kasus terorisme dan menangkal penyebaran aksi-aksi terorisme. Meski merupakan salah bentuk dari pengurangan terhadap hak atas privasi, praktik ini memang dimungkinkan dilakukan secara lawfull, dengan alasan keamanan nasional, sepanjang memenuhi kaidah dan prinsip pembatasan. Perdebatan ini juga mengemuka di dalam pembahasan RUU Perubahan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15/2003) di DPR. Ada usulan dari pemerintah dalam RUU inisiatifnya, untuk meluaskan dan melonggarkan wewenang penyidik untuk melakukan tindakan penyadapan, dalam pemberantasan tindak pidana terorisme.
Martin Scheinin (Mantan Pelapor Khusus PBB untuk Pemberantasan Terorisme), pada 2009 mengingatkan, tren penggunaan surveillance atas nama keamanan nasional dalam memberantas terorisme, secara sistematik dan massif telah menimbulkan sejumlah efek samping: (a) timbulnya ketakutan yang luar biasa (chilling effect) terhadap penikmatan kebebasan berekspresi dan berpendapat, (b) terancamnya hak untuk berserikat dan berkumpul, (c) tidak bebasnya seseorang berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dan (d) berpeluang besar menimbulkan miscarriage of justice, sekaligus berakibat bagi pelanggaran terhadap suatu sistem peradilan yang adil.
Oleh karena itu, Scheinin menekankan lima prinsip penting yang harus menjadi dasar dalam pembentukan regulasi pemberantasan terorisme yang bertalian dengan limitasi terhadap hak atas privasi seseorang, yaitu: (i) Prinsip campur-tangan yang minimal (minimum intrusiveness); (ii) Prinsip penggunaan data-data pribadi secara terbatas; (iii) Prinsip pengawasan dan pengaturan terhadap pengaksesan data pribadi; (iv) Prinsip keterbukaan dan kejujuran atau integritas; dan (v) Prinsip modernisasi secara efektif.
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) melihat, usulan RUU perubahan dari pemerintah, jelas berupaya untuk memperbesar ruang gerak bagi praktik penyadapan atau bentuk-bentuk surveillance lainnya. Hal ini nampak dalam rumusan perubahan Pasal 31, yang memungkinkan penyidik untuk: (a) membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa, dan (b) menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melaksanakan tindak pidana terorisme, atau untuk mengetahui keberadaan seseorang atau jaringan terorisme atas dasar minimal dua alat bukti yang sah. Dalam melakukan pemeriksaan sebagaimana disebutkan di atas, penyidik hanya berkewaajiban untuk melaporkan atau mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut kepada atasan penyidik dan Kementerian Telekomunikasi dan Informatika Republik Indonesia, sebagai bagian dari pelaksanaan audit.
Rumusan tersebut tidak secara ketat mengatur mengenai durasi atau jangka waktu dilakukannya tindakan penyadapan atau bentuk surveillance lainnya, maupun otorisasi atau proses perijinan dalam melakukan tindakan tersebut. Hal itu berbeda dengan ketentuan dalam UU No. 15/2003, yang dalam ketentuan Pasal 31 ayat (2) menyebutkan bahwa tindakan penyadapan hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Artinya ada penurunan derajat kontrol dan prosedur dalam rumusan yang diusulkan RUU. Dengan rumusan demikian, penyidik berhak melakukan surveillance tanpa batas waktu.
Usulan pengaturan seperti itu jelas bertentangan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam putusan perkara nomor 5/PUU-VIII/2010, bahwa dalam pelaksanaan penyadapan yang sifatnya lawful, hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu yang pasti. Kekhawatirannya, dengan ruang yang begitu besar, penyidik dapat secara sewenang-wenang memperoleh akses yang sangat luas untuk mengetahui riwayat hidup seseorang, melakukan kontrol terhadap populasi masyarakat tertentu dan mampu bertindak agresif terhadap populasi dengan identitas privasi yang tidak dikehendaki. Sehingga, hal ini dikhawatirkan dapat menjadi legitimasi untuk meletakkan seluruh data privasi warga negara di bawah kontrol dan pengawasan pemerintah, dengan alasan untuk mencegah aksi-aksi teror yang akan terjadi.
Sedangkan pada konteks pengecualian, dalam hal kemendesakan (darurat), otorisasi yang sifatnya post facto supervision memang dimungkinkan, sebagai sarana untuk menguji legalitas atau keabsahan tindakan penyadapan tersebut, untuk dikatakan lawfull. Akan tetapi, otorisasi yang sifatnya pre facto supervision tetap harus diutamakan, untuk memastikan praktik penyadapan tersebut tidak sewenang-wenang. Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM pada 2014, secara tegas menyerukan pentingnya suatu mekanisme pemantauan yang efektif oleh badan independen atau pengadilan yang terbebas dari campur tangan pemerintah secara seutuhnya.
Mempertimbangkan hal itu, ELSAM melihat, sebagai salah satu bagian dari pengurangan kebebasan sipil, ketentuan dalam undang-undang lama (UU No. 15/2003), sesungguhnya sudah cukup memadai kompabilitasnya dengan prinsip-prinsip lawfull interception. Oleh karenanya, rumusan aturan ini semestinya tidak mengalami perubahan. Cukup ditambahkan klausul kemendesakan dan ketentuan lebih lanjut mengenai relasi aturan penyadapan dalam undang-undang ini (terorisme), dengan aturan khusus tentang tata cara penyadapan, yang akan dirumuskan dalam suatu undang-undang khusus. Hal ini sebagaimana diatur oleh ketentuan Pasal 31 ayat (4) UU No. 19/2016 tentang Perubahan UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan juga putusan Mahkamah Konstitusi, yang menghendaki adanya kesatuan hukum penyadapan.
Oleh Wahyudi Djafar, Deputi Direktur Riset Elsam