Artikel ini ditulis oleh Dr. Syahganda Nainggolan, Sabang Merauke Circle.
Hari ulang tahun ke 50 Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) di Taman Ismail Marzuki, hampir berakhir ricuh kemarin. Panggung yang sejak awal disemangatin lagu-lagu Iwan Fals dilanjutkan dengan diskusi “Pertahankan Demokrasi”. Hersubeno Arif sebagai moderator memandu Dr. Chudri Sitompul, Dr. Sidratahta Muchtar dan Dr. Zainal. Diskusi mulai dengan pembedahan kehancuran demokrasi di tangan Jokowi terkait keterlibatan Jokowi meloloskan Gibran, anaknya, jadi Cawapres. Menurutnya, pelanggaran etik ketua MK ketika itu sudah menunjukkan bahwa Gibran merupakan cawapres yang tidak legitimate untuk sebuah demokrasi. Ada pengkhianatan terhadap konstitusi di sana.
Diskusi berlanjut kemudian dengan Sidratahta berbicara. Sebagai alumni doktoral UI dan periset di Indonesia Democracy Monitoring (Indemo), Sidra memastikan demokrasi ditangan Jokowi telah hancur. Demokrasi yang sejak awal berusaha mengambil peran penting dalam sistem sosial politik kita akhirnya kalah dengan potik kepentingan, khususnya kepentingan keluarga.
Ketika diskusi terasa terlalu monoton, peserta diskusi mulai marah. Teriakan-teriakan dari peserta meminta moderator segera mengubah arah diskusi agar lebih konkrit pada gerakan, yakni bagaimana memakzulkan Jokowi. Akhirnya moderator mengganti pola diskusi panelis menjadi orasi panggung. Tokoh-tokoh yang diminta publik untuk ke depan naik ke panggung berorasi. Tokoh-tokoh tersebut adalah Eep Saifullah, Faisal Basri, Connie R Bakri, Gatot Nurmantyo dan Hariman Siregar. Selain Gatot, semuanya alumni UI yang mengisi panggung.
Pemakzulan Jokowi
Suara pemakzulan Jokowi dimulai oleh Eep S. Fatah. Eep, alumni Fisip UI, memastikan Jokowi telah menghancurkan demokrasi dengan upayanya melanggengkan kekuasaannya secara haram. Menurut Eep Jokowi melanggar konstitusi. Namun, Eep menyerahkan strategi pemakzulan itu dengan dua cara, yakni pertama pemakzulan di luar pemilu, kedua mengalahkan Prabowo-Gibran dalam pilpres nanti.
Faisal Basri, sebagaimana sering dapat dilihat di podcast, memastikan bahwa pembangunan ekonomi Indonesia sudah mengarah pada jurang kehancuran. Hutang menggunung. Jika rezim ini diteruskan oleh Prabowo-Gibran, maka hutang akan mencapai 16.000 triliun. Untuk itu Faisal meminta agar menteri-menteri Jokowi yang melihat potensi kehancuran ini segera mundur, agar Jokowi segera jatuh. Menurutnya, adik kelasnya di FEUI, Sri Mulyani, harus memulai itu. Karena dia yakin Sri pasti faham arah kehancuran bangsa ini.
Connie Rahakundini Bakri ketika tampil di panggung, berbicara hal yang sama. Menurutnya era Jokowi sudah berakhir. Namun, politik dinasti dan kehancuran demokrasi akan berlanjut jika penerusnya, yakni Prabowo-Gibran, berkuasa. Ini harus dilawan.
Gatot Nurmantyo dalam orasinya mengatakan bahwa kemarahan rakyat saat ini sudah sampai pada puncaknya terkait demokrasi. Potensi kecurangan yang sangat besar dalam pilpres ke depan, karena keinginan politik dinasti, membahayakan keberlanjutan Indonesia. Mengutip laporan Survei Pemuda ICMI diberbagai daerah, akan ada gerakan memisahkan diri dari Indonesia di beberapa daerah jika pemilu berlangsung curang.
Berdasarkan itu Gatot menghimbau adanya gerakan bersama membangun posko-posko siaga rakyat memantau kecurangan pemilu nanti. Di semua daerah.
Hariman akhirnya menutup acara yang panas tersebut dengan catatan bahwa demokrasi harus diselamatkan. Ambisi-ambisi Jokowi harus dihentikan. Penghancuran demokrasi oleh Jokowi bisa karena kesalahan jiwa Jokowi atau kelemahan “civil society”. Oleh karena itu, kaum aktifis harus menyelamatkan demokrasi.
HUT Malari kali ini dengan tagline “Last Battle for Demokrasi: Lawan Politik Dinasti” menjadi acuan semua aktifis pro demokrasi di Indonesia.
Renungan
Acara HUT MALARI dari tahun ke tahun merupakan refleksi aktifis-aktifis bangsa memikirkan nasib bangsa ini. Kemarin, mayoritas yang hadir adalah pendukung Anies dan Ganjar. Sedangkan pendukung Prabowo, yang jumlahnya hanya beberapa orang, mengambil sikap pasif.
Refleksi para aktifis tentu saja penting untuk didengar elit politik nasional dan rakyat kita. Suara kaum aktifis ini, seperti dalam semua era revolusi sosial, menunjukkan suara itu sejalan dengan keinginan rakyat. Hal itu terjadi dalam revolusi Prancis, Revolusi Iran, Revolusi Bolshevik, Revolusi kemerdekaan Indonesia, dlsb.
Isu pemakzulan yang semakin besar diberbagai media massa dan gerakan mahasiswa dapat menciptakan instabilitas nasional. Untuk mencegah kehancuran bangsa sebenarnya cuma satu jalan, Jokowi menarik diri dari cawe-cawe politiknya. Namun, mungkinkah itu?
[***]