Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Segmen tiga, topik debat tentang permasalahan Perkotaan, dengan subtema transportasi publik, sampah, dan kawasan umum. Pertanyaan ditujukan kepada Cak Imin: bagaimana menyediakan instrumen fiskal khusus untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Sekali lagi, bagaimana menyediakan fiskal (APBN) untuk mengatasi permasalahan Perkotaan, permasalahan transportasi publik, sampah dan kawasan umum!
Pertanyaan panelis ini sebenarnya pertanyaan “offside”. Artinya, pertanyaannya secara substansi salah. Alasannya sebagai berikut.
Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Setiap daerah mempunyai keuangan daerah dan anggaran yang dinamakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah atau APBD.
Setiap daerah bertanggung jawab atas permasalahan di daerahnya masing-masing, antara lain permasalahan transportasi publik (dalam kota), sampah dan kawasan umum. Permasalahan ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Oleh karena itu, pembiayaan untuk mengatasi permasalahan daerah tersebut berasal dari keuangan daerah: APBD. Bukan dari APBN.
Karena itu, pertanyaan bagaimana menyediakan instrumen fiskal (APBN) untuk mengatasi permasalahan perkotaan (transportasi publik, sampah dan kawasan umum), yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah, secara substansi salah.
Transportasi publik yang menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan APBN umumnya terkait transportasi publik lintas provinsi, seperti pembangunan infrastruktur dan transportasi kereta api. Dalam hal tertentu, pemerintah pusat (APBN) mungkin wajib membantu pemerintah daerah mengatasi permasalahan kompleks di luar kemampuan keuangan daerah.
Misalnya, masalah kemacetan di Jakarta yang sangat parah dan menyebabkan inefisiensi atau pemborosan ekonomi. Sebagai kota megapolitan dengan jumlah penduduk lebih dari 10 juta orang, Jakarta memerlukan transportasi publik massal yang cepat seperti MRT. Tentu saja, keuangan pemerintah daerah Jakarta tidak mampu membiayai proyek MRT beserta infrastrukturnya. Oleh karena itu, perlu mendapat bantuan pembiayaan dari APBN. Bahkan APBN saja mendapat bantuan pinjaman dari pemerintah Jepang.
Karena itu, pertanyaan panelis tentang perkotaan terkesan tidak memahami peran pemerintah pusat dan APBN di satu sisi, dan pemerintah daerah dan APBD di lain sisi. Pertanyaan yang salah dan tidak layak tersebut membuat kualitas debat cawapres menjadi sangat buruk, memicu perdebatan yang secara substansi sudah salah arah.
Hal ini diperparah dengan kondisi di mana KPU tidak mampu menilai apakah pertanyaan panelis bisa dipertanggungjawabkan. Akibatnya, pertanyaan salah juga lolos dan ditanyakan kepada peserta debat.
Oleh karena itu, tulisan ini tidak memberi catatan lebih lanjut terkait jawaban dan tanggapan para peserta debat, yang secara substansi juga pasti salah.
[***]