WAKTU diasingkan di Bengkulu, Sukarno buka les privat bahasa Jawa. Salah satu muridnya, Jaap Kruisweg, menantu Residen Bengkulu.
Sukarno punya perpustakaan cukup besar. Melihat koleksi buku-buku yang sedemikian luas, Jaap bertanya.
“Kenapa Tuan belajar begitu giat ?”
Sukarno menjawab: “Saya harus belajar giat sekali, karena Insya Allah saya akan jadi presiden di negeri ini.”
Sukarno mempersiapkan diri bukan hanya dengan membaca, ia juga menulis. Berpolemik di surat kabar mengenai banyak hal dengan kalangan muda sekolahan pada masa itu.
Generasi Indonesia tahun ‘20-an sampai tahun ‘50-an mengembangkan tradisi ini, sehingga pemimpin yang dilahirkannya umumnya adalah a good thinker, a good writer, and a good speaker.
Bukan peternak buzzers yang menelurkan kotoran sampah berupa tinja demokrasi seperti yang terjadi saat ini.
Kalau kebudayaan lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi, dan moral, maka peradaban terefleksi dalam politik, ekonomi, dan tekhnologi.
Buzzers karena sampah demokrasi juga merupakan sampah peradaban. Celakanya buzzers kini dijadikan sokoguru oleh para elit kekuasaan.
Dengan armada buzzers seorang tokoh kritis yang menyuarakan kebenaran bisa di-bully habis-habisan, difitnah, diserang dengan kata-kata keji dan kotor. Pribadinya dihancurkan. Tanpa ada argumentasi yang logis.
Modus operandi para buzzers adalah mengagungkan-agungkan pihak yang membayar mereka, seolah pihak tersebut bagaikan nabi, dan menghancurkan lawan-lawan politik dengan framing, propaganda intoleran, tuduhan anti NKRI, sampai tuduhan rasis.
Salah satu ciri mencolok para buzzers adalah tidak punya kemampuan untuk membahas persoalan secara rasional.
Untuk jangka pendek dan jangka panjang perjalanan kehidupan berdemokrasi di negeri ini keberadaan buzzers sangatlah membahayakan.
Karena,pertama, bisa membangun opini sesat dalam menciptakan bandit menjadi “nabi”. Pecundang menjadi pemimpin. Garong menjadi manusia budiman.
Kedua, opini sesat yang diciptakan oleh para buzzer dijadikan sumber berita atau bahan berita oleh media massa-media massa partisan yang secara sadar mengabaikan obyektivitas dan mengenyampingkan profesionalitas jurnalistik.
Ketiga, rekrutmen kepemimpinan nasional bermodalkan penggunaan buzzers akan menyeret bangsa ini kepada kehancuran NKRI.
Oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior