Artikel ini ditulis oleh Defiyan Cori, Ekonom Konstitusi.
Setelah Pertamina International Marketing and Distribution pte ltd (PIMD) memenangkan sengketa dagang (utang piutang) dengan Phoenix Petroleum Corporation, PIMD dan Udena Corporation, Filipina pada tanggal 23 Nopember 2023 di Pengadilan Arbitrase Internasional Singapore (Singapore International Arbitration Centre/SIAC) yang memakan waktu 19 bulan. Kini, terbitlah kasus tuntutan Gunvor Singapore PTE LTD atas terkendalanya pengiriman kargo gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) yang dibeli dari PGN ke The London Court of International Arbitration (LCIA). Pihak PGN sebelumnya berdalih telah terjadi force majeur atas pengiriman produk LNG tersebut ke pihak Gunvor, sebuah perusahaan yang berlokasi di Singapura.
Adapun, pasal yang diajukan oleh pihak Gunvor ke forum arbitrase mengacu pada ketentuan Master LNG Sale dan Purchase Agreement serta catatan konfirmasi (confirmation notice). Atas kasus ini, PGN juga mencatat provisi dalam laporan laba rugi konsolidasian interim pada laporan keuangan yang berakhir 30 Juni 2023 sebesar US$4,41 juta, dan pada laporan keuangan yang berakhir pada 31 Desember 2023 sebesar US$56,85 juta. Dalam keterbukaan informasi sebelumnya, PGN menjelaskan bahwa kendala pengiriman kargo LNG kepada Gunvor tidak kurang dari beberapa bulan pada 2024. PGN akan memberikan pemberitahuan lebih lanjut jika terdapat perkembangan terkait kondisi force majeure.
Sebagaimana informasi yang diberikan oleh pihak PGN, bahwa peristiwa yang melatarbelakangi kondisi force majeure PGN ini akibat dari adanya proses subholding dalam struktur organisasi Pertamina. Menurut Fajriyah, sebagai wujud pelaksanaan tugas subholding BUMN akan dilaksanakan alih bisnis LNG milik Pertamina kepada PGN. Di sisi lain PGN dan Gunvor menandatangani MSPA dan CN dengan tujuan PGN akan menjual LNG tertentu dari portofolio Pertamina kepada Gunvor. Pada perkembangannya, terjadi kondisi force majeure, yakni kendala yang menyebabkan tertundanya proses inovasi portofolio LNG dari Pertamina ke PGN. Hasilnya, kasus ini berimbas kepada terkendalanya pengiriman kargo LNG kepada Gunvor.
Alasan PGN ini, jelas tidak masuk akal dalam suatu perjanjian dagang dan bisa dijadikan delik untuk memenangkan perkara arbitrase. Yang akan terjadi nanti, hanyalah resiko lebih lanjut pengeluaran besar yang mengganggu kesehatan keuangan PGN. Artinya kelalaian direksi dan komisaris yang diberikan gaji, tunjangan, bonus serta tantiem yang besar tidak berbanding lurus kinerja sebagai profesionalisme! Jelas, hal ini sangat merugikan keuangan negara yang masih membutuhkan dana besar dalam pembangunan dan mengurangi ketergantungan atas utang untuk memacu pembangunan menuju Indonesia maju dan Emas tahun 2045!
Dalam kasus antara PIMD dengan pihak Phoenix Corp keputusan pengadilan arbitrase telah menetapkan bahwa pihak Udena Corp harus membayar utang dagangnya kepada PIMD senilai US$142 juta atau sekitar Rp2,2Triliun. Walaupun, masih menyisakan persoalan pasca putusan itu, yaitu apakah pihak Phoenix akan berkomitmen melunasi utang dagangnya dan berapa lama waktunya? Apakah sengketa dagang antara PGN dan Gunvor ini di pengadilan arbitrase LCIA akan dimenangkan oleh PGN atas Gunvor dan bernasib sama dengan PIMD. Atau justru pihak PGN yang akan menghadapi kekalahan dalam perkara kendala force majeur yang diajukan oleh pihak PGN, publik menanti hasilnya!
Yang pasti, adalah PGN telah membentuk provisi atas kontrak LNG perseroan dengan Gunvor sampai dengan US$61,2 juta atau senilai Rp948,6 miliar (kurs US$1=Rp15.500) dan ini jelas kerugian. Tidak sebesar PIMD memang jumlahnya, namun apakah biaya persidangan dan waktu penyelesaian melebihi kasus PIMD terdahulu atau lebih besar dari nilai pembelian LNG oleh Gunvor ke PGN? Apalagi, mengutip pernyataan Sekretaris Perusahaan PGN, Fajriyah Usman yang akan menunjuk tim hukum internasional berpengalaman dalam bidang arbitrase untuk mewakili perusahaan tentulah berbiaya sangat mahal.
Berbagai masalah kinerja lifting migas, meningkatnya impor migas dan produk BBM, transisi energi tanpa kemajuan dan kasus hukum yang dihadapi oleh BUMN Pertamina, khususnya terjadi pada Sub Holding berbanding terbalik dengan seabrek penghargaan yang diterima oleh Nicke Widyawati sebagai Direktur Utamanya. Jika, semua penghargaan (awards) yang diterima oleh Nicke Widyawati bernilai ekonomi tentu akan sangat menguntungkan Pertamina sebagai korporasi terbesar Indonesia dalam industri minyak dan gas bumi (migas), jangan sampai justru sebaliknya. Apalagi termutakhir Nicke Widyawati juga dinobatkan sebagai wanita yang paling berkuasa (the most powerful women 2024) versi majalah fortune dengan kenaikan peringkat dari sebelumnya 67 ke 47.
Sebagai Komisaris Utama (Komut) yang baru saja menjabat di BUMN Pertamina (per Juni 2024), Simon Aloysius Mantiri sudah harus menghadapi tantangan masalah kinerja di industri migas serta berbagai kasus sengketa dagang yang sedang dihadapi tersebut dan berpotensi merugikan keuangan Pertamina dan negara. Semoga dengan jajaran anggota komisaris lainnya yang telah lama bercokol atau lebih dari 3 bulan dibanding masa jabatan Komut Simon A. Mantiri dapat segera melakukan konsolidasi dan padu dalam bekerja untuk mengawasi kinerja manajemen jajaran direksi serta berbagai kasus hukumnya.
[***]