Artikel ini ditulis oleh Prof. Didik J Rachbini, Ekonom Senior Indef dan Rektor Universitas Paramadina.
Saya dan rekan-rekan saya para ekonom muda di Indef (Institute For Development of Economics and Finance) sudah memprediksi tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2024 ini dan prediksi tahun depan akan stagnan 5 persen. Alasannya selama ini tidak ada strategi kebijakan yang berhasil melepaskan sektor industri dari jebakan deindustrialisasi dini, dimana PMI Manufaktur terus menurun dan jatuh di bawah poin 50.
Dengan sektor industri yang diabaikan tanpa kebijakan berarti seperti ini, apakah layak kita berharap tumbuh 8 persen?
Sektor industri tumbuh rendah, selama ini dalam beberapa tahun hanya sekitar 3-4 persen. Ini menunjukkan kinerja yang tidak memadai untuk mencapai pertumbuhan di atas 5 persen, apalagi 7 persen seperti target Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) atau target 8 persen pada pemerintahan Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto. Jika industri tumbuh rendah seperti ini, maka lupakan target yang tinggi tersebut. Selama masa pemerintahan Jokowi, sektor ini diabaikan sehingga target pertumbuhan 7 persen terbukti meleset.
Sektor industri telah terjebak ke dalam proses deindustrialisasi dini sehingga perangkap ini harus diterobos. Caranya dengan reindustrialisasi berbasis sumber daya alam Indonesia yang kaya, bersaing dan memenangkan pasar internasional yang luas dan otomatis berjaya di pasar domestik. Perlu untuk dijalankan dan telah terbukti sukses di negara industri tidak lain adalah resource-based industry, led-export industry atau outward looking industry.
Strategi industri itu pernah dijalankan pemerintah Indonesia pada tahun 1980-an dan awal 1990-an dengan hasil yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi 7-8 persen. Tanpa perubahan strategi seperti ini, maka mustahil mencapai target pertumbuhan 8 persen. Strategi industri bersaing di pasar internasional ini menjadi kunci berhasil atau tidaknya target pertumbuhan tersebut.
Permintaan global memang mengalami perlambatan sehingga menerobos pasar internasional tidak mudah lagi. Karena itu, pasar-pasar baru di luar Eropa, China, USA perlu dijadikan sasaran perdagangan luar negeri Indonesia. Para duta besar pun diberi target untuk meningkatkan ekspor dan menjadikan neraca dagang bilateral menjadi positif.
Masalah Fiskal
Di luar permasalahan sektoral, ada masalah fiskal yang kita hadapi, yakni utang dari tahun ke tahun terus membengkak baik secara persentase maupun secara nominal. Sejak tahun 2010 sampai dengan 2024, rasio utang Indonesia terhadap PDB terus naik dari 26 persen menjadi 38,55 persen. Total utang pemerintah sebesar Rp8.473,90 triliun per September 2024.
Ini merupakan praktek kebijakan dan ekonomi politik utang yang tidak sehat, mengikuti hukum politik dimana rezim memaksimumkan budget—teori budget maximazer—tanpa kendali, tanpa kontrol dan tanpa cek and balances yang sehat. Politik anggaran hanya refleksi dari politik yang sakit, demokrasi yang dikebiri dan dilumpuhkan selama 10 tahun ini.
Karena seantero dunia sudah tahu pemimpin di Indonesia kemaruk utang, maka tingkat suku bunga tergerak naik tidak masuk akal. Suku bunga obligasi utang RI paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asean. Indonesia harus menaikkan tingkat suku bunga yang tidak masuk akal sampai 7,2 persen dengan konsekuensi harus dibayar oleh pajak rakyat dalam jumlah yang besar.
Sebagai gambaran, tingkat bunga obligasi di Thailand hanya 2,7 persen, Vietnam 2,8 persen, Singapura 3,2 persen, dan Malaysia 3,9 persen. Tingkat suku bunga tinggi RI ini karena penarikan utang baru dari tahun ke tahun sudah di atas Rp 1.000 triliun setiap tahun.
Akibatnya kualitas belanja memburuk. Porsi membayar bunga utang menjadi paling besar dari seluruh belanja kementerian negara. Belanja pemerintah pusat semakin digerogoti pembayaran bunga utang, yang naik pesat dari 11,09 persen (2014) menjadi 20,10 persen (2024). Setiap tahun untuk bunganya saja (tidak termasuk pokok) harus menguras pajak rakyat sebesar Rp441 triliun untuk membayar utang. Ini terjadi secara terus-menerus dan akan terkena dampaknya pada pemerintahan Prabowo.
Belanja nonproduktif semakin mendominasi sedangkan belanja produktif mengecil. Belanja non produktif diamati dari belanja pegawai dan belanja barang. Tahun 2014, porsi dua belanja tersebut sekitar 34 persen, naik menjadi 36 persen pada 2024.
Demikian Catatan Akhir Tahun saya memang dibuat untuk menjadi masukan kritis terhadap pemerintah. Mengelola ekonomi nasional tidak mudah dengan berjanji kepada rakyat dengan sasaran target yang tinggi.
[***]